Jumat, 27 Juli 2012

Nikah Siri Menurut Ahli fiqih dan Pengadilan agama


Nikah Siri
Menurut Ahli fiqih dan Pengadilan agama
Oleh : Nurul Hayat

Pendahuluan
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها 
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
 أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Senin, 02 Juli 2012

FISIKOLOGI DASAR


BAB I
PENDAHULUAN

 LATAR BELAKANG
Fungsi jiwa telah menjadi bagian penting dari ilmu jiwa. Dan informasi komunikasi psikologi yang kita pelajari yang tampak dalam hubungannya dengan tubuh  atau gejala-gejala jiwa yang nampak sebagai gerak-gerik karena sifatnya yang abstrak. Tidaklah lengkap jika dalam mempelajari Psikologi tidak memahami tentang pengamatan, perhatian, fantasi, perasaan.
Maka dari itu fungsi jiwa dalam hal ini akan di bahas yang meliputi tiga bahasan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.        KOGNISI
Sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap kemudian mempengaruhi perilaku atau tindakan mereka terhadap sesuatu itulah pengertian awal kognisi, kemudian berkembang menjadi kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat,  menganalisis,  memahami,  menilai,  menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi.
Bidang ilmu yang mempelajari kognisi beragam, di antaranya adalah psikologi, filsafat, dan lain- lain. gejala kognisi meliputi, pengamatan aktivitas yang dilakukan seseorang yang cerdas, terhadap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian.
Selanjutnya adalah tanggapan yaitu suatu  bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan.Tanggapan disini maksudnya ialah tanggapan masa lampau atau tanggapan ingatan, tanggapan masa datang atau tanggapan mengantisipasikan, serta tanggapan masa kini atau tanggapan representative. Selanjutnya ialah ingatan atau proses dari mengingat, menyimpan suatu informasi, mempertahankan dan memanggil kembali informasi tersebut. Kemudian fantasi yang dapat dilukiskan sebagai fungsi yang memungkinkan manusia untuk berorientasi dalam alam imajinasi melampaui dunia riil.
Kemudian berpikir yang merupakan proses dinamis yang dapat dilukiskan dengan proses atau jalannya. Terakhir adalah intuisi atau istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualita
B.         KONASI
Konasi merupakan salah satu fungsi hidup kejiwaan manusia, dapat diartikan sebagai aktivitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan pelaksanaan tujuan. Tujuan adalah titik akhir dari gerakan yang menuju pada suatu arah. Adapun tujuan kemauan adalah pelaksanaan suatu tujuan. Konasi, kehendak, hasrat, kemauan yaitu suatu tenaga, suatu kekuatan yang mendorong kita supaya bergerak dan berbuat sesuatu. Untuk mempermudah mempelajarinya maka gejala kemauan dibagi atas dorongan, keinginan, hasrat, kecenderungan dan hawa nafsu. Dorongan dalam dorongan sendiri ada dua golongan yaitu dorongan nafsu serta dorongan rohaniah. Keinginan atau nafsu yang telah mempunyai arah tertentu dan tujuan tertentu. Hasrat, ialah suatu keinginan tertentu yang dapat diulang-ulang.
Adapun ciri-ciri hasrat yang merupakan “motor” penggerak perbuatan dan kelakuan manusia, berhubungan erat dengan tujuan tertentu, baik positif maupun negatif, hasrat tidak dapat dipisah-pisahkan dengan pekerjaan jiwa yang lain. Serta hasrat di arahkan kepada penyelenggaraan suatu tujuan.
C.         EMOSI
Kemudian berbicara mengenai Emosi yang maksudnya gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang, hanya corak dan tingkatannya tidak sama. Perasaan tidak termasuk gejala mengenal, walaupun demikian sering juga perasaan berhubungan dengan gejala mengenal.
Apakah perasaan itu?
Perasaan adalah suatu keadaan kerohanian atau peristiwa kejiwaan yang kita alami dengan senang atau tidak senang dalam hubungan dengan peristiwa mengenal dan bersifat subyektif. Yang menjadi unsur-unsur perasaan ialah bersifat subyektif daripada dengan gejala mengenal, bersangkut paut dengan gejala mengenalm, perasaan dialami sebagai rasa senang atau tidak senang, yang tingkatannya tidak sama.

Perasaan lebih erat hubungannya dengan pribadi seseorang dan berhubungan pula dengan gejala-gejala jiwa yang lain.
Oleh sebab itu tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain, terhadap hal yang sama. Karena adanya sifat subyektif pada perasaan maka gejala perasaan tidak dapat disamakan dengan pengamatan, fikiran dan sebagainya. Pengenalan hanya berstandar pada hal-hal yang ada berdasarkan pada kenyataan, sedangkan perasaan sangat dipengaruhi oleh tafsiran sendiri dari orang yang mengalaminya. Perasaan tidak merupakan suatu gejala kejiwaan yang berdiri sendiri, tetapi bersangkut paut atau berhubungan erat dengan gejala-gejala jiwa yang lain.
            Kebanyakan dari para orang tua masih mendewakan IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan. Kemampuan anak hanya diukur dari nilai akademis. Jika nilai rapornya mencapai skala 8-10, ia akan dianggap anak pandai, cerdas, dan pintar. Padahal “kepintaran” di atas kertas itu bukanlah “kepintaran sejati”. Pemahaman salah kaprah ini diyakini oleh sebagian besar para orang tua. Siapa yang memiliki IQ tinggi, kelak akan lebih sukses hidupnya daripada orang yang memiliki IQ rata-rata. Padahal dalam prakteknya tidak selalu demikian. Misalnya, tidak sedikit pemilik IQ tinggi justru terpental dari ketatnya persaingan memasuki dunia kerja.
            Hasil penelitian Daniel Coleman, konon IQ hanya memberi kontribusi 20% dari kesuksesan hidup seseorang. Selebihnya bergantung pada kecerdasan emosi (emotional intelligence atau EQ) dan sosial yang bersangkutan. Di sisi lain, 90% “kebehasilan kerja” manusia ternyata ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya, sisanya (sekitar 4%) adalah kemampuan teknis.
ada juga penelitan jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard lulusan tahun 1940-an. Puluhan tahun kemudian, mereka yang kerap mendapat nilai tes paling tinggi di perguruan tinggi dulu ternyata hidupnya tak terlalu sukses dibandingkan dengan rekan-rekannya yang memiliki IQ biasa saja. Dalam hal ini kesuksesan diukur lewat besaran gaji, produktivitas, serta status bidang pekerjaan mereka. Dalam sebuah survei terhadap ratusan perusahaan di Amerika Serikat, terungkap pula faktor yang menjadikan seorang pemimpin atau manajer jauh lebih berhasil dari yang lain. Yang terpenting bukan kemampuan teknis atau analisis, tapi justru hal yang berkaitan dengan emosi atau perasaan dan hubungan personal. Empat hal yang paling menonjol adalah kemauan, keuletan mencapai tujuan, kemauan mengambil inisiatif baru, kemampuan bekerjasama, dan kemampuan memimpin tim.
Masih menurut penelitian, bahwa IQ manusia rata-rata meningkat 20 poin dalam 20 tahun terakhir. Artinya, di atas kertas, orang makin cerdas. Tapi apakah kecenderungan itu membuat hidup manusia jadi lebih bahagia? Ternyata tidak. Di balik tingginya IQ, justru kemampuan manusia dalam memahami dan mengendalikan emosi malah menurun.
Survei pun menunjukkan adanya kesamaan fakta di berbagai belahan dunia, bahwa anak-anak generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional ketimbang pendahulunya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, tapi di sisi lain, lebih galak dan kurang menghargai sopan santun. Lebih gugup dan mudah cemas, serta lebih impulsif dan agresif. Tak jarang mereka menarik diri dari pergaulan, lebih suka menyendiri, bersikap sembunyi-sembunyi, kurang bersemangat, dan tentu saja kurang bahagia.
Data juga menunjukkan, kesejahteraan serta daya sosial anak dan remaja merosot jauh. Makin banyak di antara mereka yang meninggal karena penyalahgunaan obat bius, bunuh diri dengan alasan sepele, atau melakukan tindak kriminal di usia belasan tahun. Menurut data pada tahun 2003, 1.800.000 anak Indonesia menjadi pecandu narkoba dan 11.344 anak ditangkap polisi karena melakukan tindak kriminal. Hal itu terjadi karena IQ hanya berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis (otak kiri). Sedangkan EQ lebih banyak berhubungan dengan perasaan damn emosi (otak kanan).
Menurut Prof. Sarlito banyak hal yang menjadi penyebab rendahnya kecerdasan emosi dewasa ini. Beberapa diantaranya adalah perubahan nilai sosial dalam 40 tahun terakhir, kurangnya waktu luang orang tua untuk mengasuh anak, meningkatnya angka perceraian, pengaruh televisi dan media elektronik lainnya, serta menurunnya rasa hormat terhadap institusi sekolah.
Anak yang masih mencari jati diri tidak bisa dipaksa hidup pada tingkat intelektual yang tidak sesuai dengan dirinya. Sama seperti anak yang tidak kuat di mata pelajaran matematika, tapi justru dipaksa orang tuanya masuk jurusan IPA. Tidak seperti IQ, EQ dapat dikembangkan dalam segala tingkat usia. Paling tepat tentunya sejak tahap awal perkembangan anak. Orangtua sebaiknya membangun keluarga dengan landasan sikap-sikap positif, seperti menekankan pentingnya berbagi dengan sesama, saling menyayangi, dan berorientasi mencari solusi. Komunikasi efektif harus diciptakan, agar anak terangsang untuk mendengar, mengerti, dan berpikir. Disiplin juga perlu, tetapi yang lebih mengutamakan self direction dan upaya memperbaiki diri. Sejak dini, diharapkan orang tua dapat mengajak anaknya berempati pada masalah orang lain. selain berempati, ajarkan anak untuk bisa mengekspresikan emosinya. Misalnya, jika sedang senang, tunjukkanlah agar orang lain ikut gembira. Sebaliknya, jika hendak marah, salurkan lewat cara yang tepat, agar tak semua orang menjadi sasaran kemarahan. Melalui pembelajaran tersebut anak mampu mengendalikan emosinya, mudah beradaptasi dengan lingkungan, serta mampu mencari jalan keluar atas berbagai masalah yang dihadapi.
Tanamkan pula sifat gigih, suka menolong, dan menghormati orang lain. Dalam hal ini orang tua ditantang untuk mengembangkan anaknya, agar tak hanya memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi, tapi juga kaya wawasan dan tetap manusiawi.
Dengan EQ tinggi, kelak kesuksesan pun bisa diraih oleh anak. Sebab, dalam dirinya sudah tertanam kepercayaan diri yang tinggi, yang didapatnya dari pergaulan dengan banyak orang, kenal banyak kalangan, dan luwes dalam berteman. Pemilik EQ yang tinggi juga mampu menguasai emosi dan memiliki mental sehat, serta pandai menempatkan diri. Jadi membangun keseimbangan kecerdasan intelektual dan emosional pada anak sangat berguna demi masa depannya.

Bottom of Form
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dalam fungsi jiwa ada bagian-bagian yang terkandung didalamnya, antara lain yaitu pengamatan, perhatian, fantasi, dan perasaan.
            Pengamatan adalah proses mengenal dunia luar dengan menggunakan macam-macam indera seperti indera penglihatan, pendengar, pembau, perasaan atau pengecapan, peraba.
            Perhatian adalah pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditunjukkan pada suatu objek atau sekumpulan objek. Ditinjau dari segi timbulnya maka perhatian dapat dibedakan atas perhatian spontan dan perhatian tidak spontan.
            Fantasi adalah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru. Fantasi sebagai kemampuan jiwa manusia dapat terjadi secara disadari dan secara tidak disadari. Fantasi merupakan aktivitas yang menciptakan tetapi sekalipun demikian searing dibedakan antara fantasi yang menciptakan dan fantasi tang dipimpin.
            Perasaan adalah keadaan atau state individu sebagai akibat dari persepsi terhadpa stimulus baik eksternal maupun internal.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib, 2002, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta : Raja Granpindo Persada
Baharudin, 2007, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.