HUKUM-HUKUM ZAKAT
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan
dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya. Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat
pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium. Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan fikih Islam tentang masalah itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali memperoleh jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya yang besar, dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh para ulama fikih pada masa silam. Kita menguraikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal: 1. Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang
tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang
kuat.
2. Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya. 3. Besar zakatnya. PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI PENDAPAT MUTAKHIR Guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952.
Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang teksnya sebagai berikut: "Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat." "Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang - untuk
bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat
seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat. Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut." Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, "Penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab." Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada
akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun. GAJI DAN UPAH ADALAH HARTA PENDAPATAN Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun. Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan tentang
pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas. Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan." Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i. Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat- pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah berada di kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya al-Mughni oleh Ibnu Qudamah jilid 2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129. MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI Yang mendesak, mengingat zaman sekarang, adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat. Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun.
Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak." Yang kita bicarakan disini, adalah tentang "harta penghasilan," yang berkembang bukan dari kekayaan lain, tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi
modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis dengan
kekayaan lain yang ada padanya atau tidak. Berlaku jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan
hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan zakat hartanya yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun
harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung saat harta tersebut diperoleh dan susah terpenuhi syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup senisab, bersih dari hutang, dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok? Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha. Di bawah ini dijelaskan tingkatan kebenaran hadis-hadis tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam hadis membenarkannya. (Daftar Isi, sesudah) |
|
|
--------------------------------------------------- HUKUM ZAKAT Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis Dr. Yusuf Qardawi Litera AntarNusa dan Mizan, Jakarta Pusat Cetakan Keempat 1996, ISBN 979-8100-34-4 |
KELEMAHAN HADIS-HADIS TENTANG KETENTUAN SETAHUN
Ketentuan setahun itu ditetapkan berdasarkan hadis-hadis
dari empat sahabat, yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah
r.a. Tetapi hadis-hadis itu lemah, tidak bisa dijadikan
landasan hukum.
HADIS DARI ALI
Hadis dari Ali diriwayatkan oleh Abu Daud
tentang Zakat Ternak.
"Kami diberitahu oleh Sulaiman bin Daud al-Mahri, oleh Ibnu
Wahab, oleh Jarir bin Hazim, yang lain mengatakan dari Abu
Ishaq, dari Ashim bin Dzamra dan Haris 'A'war, dari Ali
r.a., dari Nabi s.a.w. Bila engkau mempunyai dua ratus
dirham dan sudah mencapai waktu setahun, maka zakatnya
adalah 5 (lima) dirham, dan tidak ada suatu kewajiban zakat
yaitu atas emas-sampai engkau mempunyai dua puluh dinar
dan sudah mencapai masa setahun, yang zakatnya adalah
setengah dinar. Lebih dari itu menurut ketentuan di atas,
Abu Daud berkata, "Saya tidak tahu apakah Ali yang
mengatakan "Lebih dari itu menurut ketentuan" tersebut
ataukah yang mengatakannya Nabi sendiri. Begitu juga tentang
ketentuan masa setahun bagi wajib zakat, selain ucapan
Jarir, "Hadis dari Nabi tersebut bersambung dengan "Tidak
ada kewajiban zakat atas satu kekayaan sampai melewati waktu
setahun."
Demikian hadis Ali yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
sedangkan penilaian ulama-ulama hadis tentang hadis tersebut
sebagai berikut:
a. Ibnu Hazm berkata, diikuti oleh Abdul Haq dalam Ahkamuhu,
"Hadis itu diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim
dari Abu Ishaq dari Ashim dan Haris dari Ali. Abu Ishaq
membandingkan antara Ashim dan Haris, Haris adalah pembohong
yang menyangkutkannya kepada Nabi s.a.w., sedangkan Ashim
tidak menyangkutkannya. Kemudian Jarir menggabungkan kedua
hadis dari kedua orang tersebut. Hadis tersebut diriwayatkan
pula oleh Syuibah, Sufyan, dan Mu'ammar dari Abu Ishaq dari
Ashim dari Ali secara mauquf. Demikian juga semua yang
diriwayatkan oleh Ashim mesti hanya sampai kepada Ali.
Seandainya Jarir menyangkutkannya ke Ashim dan menjelaskan
hal tersebut, kita akan menerimanya.
b. Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish-mengomentari
pendapat Ibnu Hazm-"Hadis tersebut diriwayatkan oleh
Turmizi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali
sebagai hadis marfu'.
Menurut saya hadis Abu Awanah tidak menyebut-nyebut
masalah setahun, yang oleh karena itu tidak bisa dijadikan
landasan hukum. Teksnya sebagaimana diriwayatkan oleh
Turmizi mengenai zakat emas dan uang adalah sabda Rasul,
"Saya dulu memaafkan zakat kuda dan uang, sekarang
keluarkanlah zakatnya: dari setiap empat puluh dirham satu
dirham, seratus sembilan puluh tidak ada zakatnya, tetapi
bila sudah mencapai dua ratus dirham maka zakatnya lima
dirham.
c. Semua ini berdasarkan pendapat bahwa Ashim terjamin
kejujurannya tetapi sebenarnya ia tidak bebas dari cacat.
Mundziri dalam Mukhtashar as-Sunan mengatakan bahwa Haris
dan Ashim tidak bisa dipercaya. Tetapi Zahabi dalam Mizan
al-I'tidal mengatakan bahwa terdapat empat orang memperoleh
hadis itu darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu'ayyan dan Ibnu
Madini. Ahmad berkata bahwa ia lebih baik dari Haris-A'war
dan dapat dipercaya. Nasa'i juga berpendapat demikian.
Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadis
tersebut sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hiban, Ashim
mempunyai daya hafal yang jelek, banyak salah, dan selalu
menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang oleh karena itu
lebih baik tidak diperhatikan, namun ia lebih baik dari
Haris. Ucapan ini mendukung pendapat Mundzir, bahwa hadis
tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum.
d. Dengan demikian hadis tersebut ada cacatnya, sebagaimana
diperingatkan oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish bahwa hadis
yang kita sebutkan dari Abu Daud tersebut ada cacatnya. Ia
mengatakan bahwa Ibnu Muwaq memperingatkan bahwa hadis
tersebut mempunyai cacat yang tersembunyi, yaitu bahwa Jarir
bin Hazim tidak mungkin mendengarnya dari Abu Ishaq, tetapi
diriwayatkan oleh banyak penghafal seperti Sahnun, Harmala,
Yunus, Bahr bin Nashir, dan lain- lainnya dari Ibnu Wahab
dari Jarir bin Hazim dari Haris bin Nabhan dari Hasan bin
'Imarah dari Abu Ishaq. Ibnu Muwaq berkata bahwa meragui
kebenaran hadis tersebut karena Sulaiman adalah guru Abu
Daud merupakan dugaan-dugaan untuk menjatuhkan seseorang
saja. Hasan bin 'Imarah yang tidak terdapat dalam sanad
jelas tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa hadis tersebut
tidak dapat dijadikan landasan. Sikap Ibnu Hajar yang diam
saja atas kritikan Ibnu Muwaq atas hadis tersebut, bahkan
menegaskan hadis tersebut ada cacatnya, dinilai sudah
menyimpang dari pendapatnya dalam at-Talkhish, bahwa hadis
Ali benar sanadnya dan dikuatkan oleh banyak atsar sehingga
dapat dijadikan landasan hukum.
Jelaslah bahwa dalam hadis tersebut terdapat banyak
kekurangan. Yaitu dari pihak Haris yang diduga pembohong
karena sebagian saja mengatakan hadis itu ke pihak
sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya,
dan dari segi cacat seperti disebut oleh Ibnu Muwaq dan
dikuatkan oleh Ibnu Hajar. Dan menurut pendapat saya,
Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang yang menganggap
bahwa hadis Ali adalah hasan, bila mengetahui cacat yang
diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang juga dikuatkan oleh Ibnu
Hajar dalam bukunya tersebut, pasti akan meralat pendapat
mereka, dan akan menyatakan bahwa hadis tersebut betul
bercacat.
HADIS DARI IBNU UMAR
Mengenai hadis dari Ibnu Umar, Ibnu Hajar berkata bahwa
hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi,
didalamnya terdapat Ismail bin Iyasy yang menerima dari
sumber bukan penduduk Syam, adalah lemah. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Numair, Mu'tamar, dan lain-lain dari gurunya,
yaitu Ubaidillah bin Umar, yang meriwayatkan dari Nafi'
kemudian terputus, yang dibenarkan oleh Daruquthni dalam
al-'Ilal bahwa hadis tersebut memang mauquf.
HADIS DARI ANAS
Mengenai hadis dari Anas, Daruquthni meriwayatkan yang
didalamnya ada Hasan bin Siyah yang lemah yang telah
meriwayatkan sendiri saja dari Sabit (Talkhish: 175) bahwa
Ibnu Hiban berkata dalam kitab adz-Dzu'afa' bahwa ia meragui
hadis itu yang tidak diperbolehkannya untuk landasan hukum
karena ia meriwayatkannya sendiri saja.
HADIS DARI AISYAH
Hadis dari Aisyah diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruquthni,
Baihaqi, serta Uqaili dalam adz-Dzu'afa' bahwa didalamnya
terdapat Harisha bin Abur Rijal, yang lemah.
Ibnu Qayyim berkata dalam Tahdhib Sunan Abi Daud hadis
bahwa tidak ada zakat pada harta benda sampai lewat setahun
diriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang shahih. Muhammad
bin Ubaidillah bin Munadi berkata bahwa hadis tersebut
diriwayatkan kepada mereka oleh Abu Zaid Syuja, bin
al-Walid, dari Harisha bin Muhammad dari Umrah dari Aisyah
"Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Tidak ada zakat pada
suatu harta sampai lewat setahun," diriwayatkan oleh Abu
Husain bin Basyran dari Usman bin Samak dari Ibnu Munadi.
Menurut saya adalah aneh Ibnu Qayyim menilai hadis tersebut
shahih dengan sanad tersebut oleh karena bila kita tidak
menggubris Syuja, bin Walid ayah Badr gelar yang diberikan
padanya lihat al-Mizan, jilid 2: 264 sedangkan tentangnya
Abu Hakim mengatakan suaranya hampir tidak kedengaran, tua,
tidak kuat, tidak dapat dipercaya, tetapi mempunyai hadis-
hadis shahih lain dari sumber Muhammad bin Amru, maka kita
tidak bisa pula menganggap tidak ada gurunya yaitu Harisha
bin Muhammad yang sebenarnya adalah Harisha bin Abu Rijal
sendiri, yang meriwayatkan dari Umrah yang hadis-hadis
darinya dianggap lemah oleh Daruquthni dan Uqaili. Zahabi
berpendapat dalam bukunya bahwa Ahmad dan Ibnu Mu'ayyan
menganggap hadis itu lemah, Nasa'i berpendapat bahwa hadis
tersebut matruk, sedangkan Bukhari menilai hadis tersebut
tidak benar tak seorang pun yang mengakuinya. Madini berkata
bahwa sahabat-sahabatnya masih menganggapnya lemah,
sedangkan lbnu Adi mengatakan bahwa kebanyakan hadis yang
diriwayatkan olehnya tidak benar. Ini berarti bahwa menurut
ijmak perawinya lemah dan bercacat, yang oleh karena itu
tidak mungkin hadis yang diriwayatkan sendirian bisa
dianggap shahih. Agaknya ia memakai nama ayahnya - yaitu
Muhammad - dan tidak dengan nama aslinya yang terkenal -
yaitu Abu Rijal - merupakan petunjuk ketidak- benaran
tersebut.
Hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis yang berhubungan
dengan persyaratan waktu setahun (haul) bagi wajib zakat
semua jenis harta benda baik "harta pendapatan" maupun
bukan.
HADIS-HADIS TENTANG "HARTA PENGHASILAN"
Hadis khusus tentang "harta penghasilan" diriwayatkan oleh
Turmizi dari Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam dari bapanya
dari Ibnu Umar, "Rasulullah s.a.w. bersabda, "Siapa yang
memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai
lewat setahun di sisi Tuhannya."
Hadis yang diriwayatkan oleh Turmizi juga dari Ayyub bin
Nafi, dari Ibnu Umar, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka
tidak ada kewajiban zakat atasnya dan seterusnya," tanpa
dihubungkan kepada Nabi s.a.w.
Turmizi mengatakan bahwa hadis itu lebih shahih daripada
hadis Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, Ayyub, Ubaidillah,
dan lainnya yang lebih dari seorang meriwayatkan dari Nafi,
dari Ibnu Umar secara mauquf. Abdur Rahman bin Zaid bin
Aslam lemah mengenai hadis, dianggap lemah oleh Ahmad bin
Hanbal, Ali Madini, serta ahli hadis lainnya, dan dia itu
terlalu banyak salahnya. Hadis dari Abdur Rahman bin Zaid
juga diriwayatkan oleh Daruquthni dan al-Baihaqi, tetapi
Baihaqi, Ibnu Jauzi, dan yang lain menganggapnya mauquf,
sebagaimana dikatakan oleh Turmizi. Daruquthni dalam
Gharaibu Malik meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim Hunaini
dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar begitu juga Daruquthni
mengatakan bahwa hadis tersebut lemah, dan yang shahih
menurut Malik adalah mauquf. Baihaqi meriwayatkan dari Abu
Bakr, Ali, dan Aisyah secara mauquf, begitu juga dari Ibnu
Umar. Ia mengatakan bahwa yang jadi pegangan dalam masalah
tersebut adalah hadis-hadis shahih dari Abu Bakr
ash-Shiddiq, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, dan
lain-lainnya.
Dengan penjelasan ini jelaslah bagi kita bahwa mengenai
persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar hadis yang
tegas dan berasal dari Nabi s.a.w, apalagi mengenai "harta
penghasilan" seperti dikatakan oleh Baihaqi.
Bila benar berasal dari Nabi s.a.w., maka hal itu tentulah
mengenai kekayaan yang bukan "harta penghasilan" berdasarkan
jalan tengah dan banyak dalil tersebut. Ini bisa diterima,
yaitu bahwa harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya
tidak wajib zakat lagi sampai setahun berikutnya. Zakat
adalah tahunan tidak bisa dipertengahan lagi. Dalam hal ini
hadis itu bisa berarti bahwa zakat tidak wajib atas suatu
kekayaan sampai lewat setahun. Artinya tidak ada kewajiban
zakat lagi atas harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya
sampai lewat lagi masanya setahun penuh. Hal ini sudah kita
jelaskan dalam fasal pertama bab ini.
Petunjuk lain bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan tentang
ketentuan setahun atas "harta penghasilan" itu adalah
ketidak-sepakatan para sahabat yang akan kita jelaskan. Bila
hadis-hadis tersebut shahih, mereka tentu akan mendukungnya.
Ketidak-sepakatan para Sahabat dan Tabi'in dan Sesudahnya
tentang Harta Benda Hasil Usaha
Bila mengenai ketentuan setahun tidak ada nash yang shahih,
tidak pula ada ijmak qauli ataupun sukuti, maka para sahabat
dan tabi'in tidak sependapat pula tentang ketentuan setahun
pada "harta penghasilan." Diantara mereka ada yang
memberikan ketentuan setahun itu, dan ada pula yang tidak
dan mewajibkan zakat dikeluarkan sesaat setelah seseorang
memperoleh kekayaan penghasilan tersebut.
Ketidak-sepakatan mereka itu tidak berarti bahwa pendapat
salah satu pihak lebih kuat dari pendapat yang lain.
Persoalannya harus diteropong dengan nash-nash lain dan
aksioma umum Islam seperti firman Allah, "Bila kalian
berselisih dalam sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul." (Quran, 4:59). Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr
ash-Shiddiq mengatakan bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq tidak
mengambil zakat dari suatu harta sehingga lewat setahun.
Umra binti Abdir Rahman dari Aisyah mengatakan zakat tidak
dikeluarkan sampai lewat setahun, yaitu zakat "harta
penghasilan." Hadis dari Ali bin Abi Thalib, "Siapa yang
memperoleh harta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya
sampai lewat setahun." Demikian pula dari Ibnu Umar.
Hadis-hadis dari para sahabat itu menunjukkan, bahwa zakat
tidak wajib atas harta benda sampai berada pada pemiliknya
selama setahun, meskipun harta penghasilan. Namun sahabat
lainnya tidak menerima pendapat tersebut, dan tidak
memberikan syarat satu tahun atas zakat harta penghasilan.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Syaibah dan Malik
meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Abbas, bahwa
kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati
adalah yang memilikinya adalah seseorang Muslim.
Mereka yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas tersebut bahwa
zakat dari harta penghasilan harus segera dikeluarkan
zakatnya tanpa menunggu satu tahun adalah lbnu Mas'ud,
Mu'awiyah dari sahabat, Umar bin Abdul Aziz, Hasan, dan
az-Zuhri dari kalangan tabi'in, yang akan kita jelaskan
dalam fasal-fasal berikut.
HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI'IN
1. IBNU ABBAS
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang
laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan
zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu
Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana
ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan
ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang
difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda
pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas
memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan
saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama
sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan
pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat
tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda.
Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak
tahu apa maksud hadis tersebut.
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta
benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa
ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip,
namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah;
karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta
merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama
sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka
ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang
banyak meriwayatkan darinya.
Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya
tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang
menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi
penghambat itu tidak ada.
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk
menerima pengertian zahir hadis tersebut tidak dapat
diterima karena:
1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat.
Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah,
yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar
bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang
mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk
menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan
pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya
bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian,
maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan
pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus
mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang
lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi
kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak
terjadi.
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal
yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang
terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya
mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging
himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas
tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari
zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut
mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya
mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu
Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud
hadis tersebut?"
2. IBNU MAS'UD
Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam,
Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang
kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain
hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah
wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena
diberikan.
Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil
serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat
langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang
berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas
adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan
bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia
terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah,
dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah
sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan
oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama
dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang
dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan
asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa
setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian
lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian
yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima
dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih
banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum
mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil
tersebut.
3. MU'AWIYAH
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang
pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan
adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian
dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan
zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah
kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan
Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah,
sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
Yang jelas adalah bahwa Mu'awiyah mengenakan zakat atas
pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam,
karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang
jelas adalah bahwa zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan
para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah
melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat
dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan
mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah
tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah
sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan
gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri
sedangkan Mu'awiyah sendiri - meski dikatakan bahwa
ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak
bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah
s.a.w.
4. UMAR BIN ABDUL AZIZ
Empat periode Mu'awiyah, datanglah pembaru seratus tahun
pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru
yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian,
hadiah, barang sitaan, dan lain
Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji
seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia
mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari
pemberian bila telah berada di tangan penerima.
Dengan demikian ucapan ('Umalah) adalah sesuatu yang
diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan
karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazalim) ialah
harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak
benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya
menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila
barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan
penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u'tiyat)
adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang
dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan
orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz
memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat
Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan
kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado,
ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan
oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas
hadiah-hadiah tersebut.
PARA ULAMA FIKIH LAIN DAN KALANGAN TABI'IN DAN LAINNYA
1. Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" yang
bersumber dari Zuhri dan Hasan adalah seperti yang
diutarakan Ibnu Hazm. (Kita akan mengulas sedikit hal
tersebut waktu membicarakan cara pengeluaran zakat "harta
penghasilan"). Sebelum itu sudah terdapat pendapat serupa
dari al-Auza'i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan
berpendapat yang mirip hal itu. Dan kita telah menerangkan
dalam fasal sebelum ini pendapat tentang seseorang yang
mengambil sewa dari penyewaan rumahnya bahwa ia harus
mengeluarkan zakat hasil sewaan tersebut ketika menerimanya,
sebagaimana disebutkan dalam al- Mughni. Ahmad berpendapat,
dari sumber beberapa orang, bahwa orang itu mengeluarkan
zakatnya ketika menerimanya. Ibnu Mas'ud meriwayatkan dengan
sanad ia sendiri apa yang telah kita terangkan diatas
tentang zakat pemberian.
2. Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan
Baqir dari kalangan ulama-ulama Makkah sebagaimana juga
mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh sejumlah
senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung.
Alasan mereka adalah keumuman nash-nash yang mewajibkan
zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya
1/40." (Muttafaq 'alaihi).
Berdasarkan hadis itu masa setahun tidak merupakan syarat,
tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat
dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain hanya pada
saat harus dikeluarkan yaitu akhir tahun, sebagaimana
dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa
melihat keadaan harta tersebut pada awal tahun: cukup
senisab atau tidak.
PERBEDAAN MAZHAB EMPAT DALAM MASALAH HARTA PENGHASILAN
Para imam mazhab empat berbeda pendapat yang cukup kisruh
tentang harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Hazm dalam al- Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Abu Hanifah
berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya
bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali
jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus
dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan
itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah
mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh
penghasilan sedikit ataupun banyak - meski satu jam
menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia
wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan
pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas,
perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan
atau lainnya.
Tetapi Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak
dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta
tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak
sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang
yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan
anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis
dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan
pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan
miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau
belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila
binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka
anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun
induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun
belum mencapai nisab.
Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan
zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki
harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak
binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya
yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab
maka tidak wajib zakatnya.
Ibnu Hazm tampil - dengan caranya yang menggebu-gebu -
dengan pendapat bahwa pendapat-pendapat di atas adalah
salah. Ia mengatakan bahwa salah satu bukti
pendapat-pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat
kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya dugaan-dugaan
belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan,
yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik
dari Quran atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang
bercacat sekalipun, tidak perlu dari Ijmak dan Qias, dan
tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima.
Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah
tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku
bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan,
bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan. Hal itu
bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri yang keluar
dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta
penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia
sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh
orang-orang lain di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar