Senin, 11 Juni 2012

HUKUM-HUKUM ZAKAT


HUKUM-HUKUM ZAKAT

Barangkali bentuk  penghasilan  yang  paling  menyolok  pada
zaman  sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan
dan profesinya.
 
Pekerjaan yang menghasilkan  uang  ada  dua  macam.  Pertama
adalah  pekerjaan  yang  dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat  kecekatan  tangan  ataupun  otak.
Penghasilan   yang   diperoleh  dengan  cara  ini  merupakan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur,   advokat   seniman,  penjahit,  tukang  kayu  dan
lain-lainnya.
 
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang  buat
pihak  lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak,
ataupun  kedua-  duanya.  Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
 
Wajibkah kedua macam penghasilan  yang  berkembang  sekarang
itu   dikeluarkan   zakatnya   ataukah  tidak?  Bila  wajib,
berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan  bagaimana  tinjauan
fikih Islam tentang masalah itu?
 
Pertanyaan-pertanyaan   tersebut   perlu  sekali  memperoleh
jawaban pada masa sekarang, supaya setiap  orang  mengetahui
kewajiban   dan  haknya.  Bentuk-bentuk  penghasilan  dengan
bentuknya yang modern, volumenya yang besar,  dan  sumbernya
yang  luas  itu,  merupakan  sesuatu yang belum dikenal oleh
para ulama fikih pada masa silam. Kita  menguraikan  jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal:
 
1. Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta
   pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang
   tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang
   kuat.
2. Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya.
3. Besar zakatnya.
 
 
PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI
 
PENDAPAT MUTAKHIR
 
Guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan,  Muhammad  Abu  Zahrah
dan  Abdul  Wahab  Khalaf  telah  mengemukakan persoalan ini
dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun  1952.
Ceramah  mereka  tersebut  sampai pada suatu kesimpulan yang
teksnya sebagai berikut:
 
"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya  bila  sudah
setahun  dan  cukup  senisab.  Jika  kita  berpegang  kepada
pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan  Muhammad  bahwa  nisab
tidak  perlu  harus  tercapai  sepanjang  tahun,  tapi cukup
tercapai penuh  antara  dua  ujung  tahun  tanpa  kurang  di
tengah-tengah   kita   dapat   menyimpulkan   bahwa   dengan
penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas
hasil  penghasilan  setiap  tahun,  karena  hasil itu jarang
terhenti sepanjang tahun bahkan  kebanyakan  mencapai  kedua
sisi  ujung  tahun  tersebut.  Berdasar  hal itu, kita dapat
menetapkan hasil penghasilan sebagai  sumber  zakat,  karena
terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih
sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
 
"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi  seseorang - untuk
bisa  dianggap  kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran
Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula  buat
seseorang  untuk  terkena  kewajiban  zakat,  sehingga jelas
perbedaan antara orang  kaya  yang  wajib  zakat  dan  orang
miskin penerima zakat.
 
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah
senisab itu cukup terdapat pada awal dan  akhir  tahun  saja
tanpa  harus  terdapat  di  pertengahan tahun. Ketentuan itu
harus  diperhatikan  dalam  mewajibkan  zakat   atas   hasil
penghasilan  dan  profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang
tergolong kaya dan  siapa  yang  tergolong  miskin,  seorang
pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."
 
Mengenai  besar  zakat,  mereka mengatakan, "Penghasilan dan
profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih,  selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia
dilaporkan berpendapat  tentang  seseorang  yang  menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa
orang   tersebut   wajib   mengeluarkan   zakatnya    ketika
menerimanya   tanpa   persyaratan   setahun.  Hal  itu  pada
hakikatnya   menyerupai   mata   penghasilan,   dan    wajib
dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."
 
Hal  itu  sesuai  dengan  apa yang telah kita tegaskan lebih
dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja  yang  penghasilannya
tidak  mencapai  nisab  seperti  yang  telah  kita tetapkan,
meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup  pada
akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab
yang telah berumur setahun.
 
GAJI DAN UPAH ADALAH HARTA PENDAPATAN
 
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah
bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan
dari dua belas bulan. Karena ketentuan  wajib  zakat  adalah
cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
 
Yang  menarik  adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil
penghasilan  dan  profesi  dan  pendapatan  dari  gaji  atau
lain-lainnya   di   atas,   bahwa   mereka  tidak  menemukan
persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan  tentang
pendapat   Ahmad   tentang   sewa   rumah   diatas.   Tetapi
sesungguhnya persamaan itu  ada  yang  perlu  disebutkan  di
sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada
kekayaan  penghasilan,  "yaitu   kekayaan   yang   diperoleh
seseorang  Muslim  melalui  bentuk  usaha  baru  yang sesuai
dengan syariat agama. Jadi pandangan  fikih  tentang  bentuk
penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."
 
Sekelompok   sahabat   berpendapat   bahwa  kewajiban  zakat
kekayaan  tersebut  langsung,  tanpa  menunggu  batas  waktu
setahun.  Diantara  mereka  adalah  Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud,
Mu'awiyah, Shadiq, Baqir,  Nashir,  Daud,  dan  diriwayatkan
juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
 
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-
pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah
berada  di  kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh
Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya  al-Mughni  oleh  Ibnu
Qudamah  jilid  2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir
jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.
 
MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI
 
Yang mendesak, mengingat zaman  sekarang,  adalah  menemukan
hukum  pasti  "harta  penghasilan" itu, oleh karena terdapat
hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu  bahwa  hasil
penghasilan,   profesi,   dan   kekayaan   non-dagang  dapat
digolongkan  kepada  "harta  penghasilan"   tersebut.   Bila
kekayaan   dari   satu   kekayaan,  yang  sudah  dikeluarkan
zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu,
mengalami   perkembangan,   misalnya  laba  perdagangan  dan
produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan
dengan  perhitungan  tahun induknya. Hal itu karena hubungan
keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
 
Berdasarkan hal itu,  bila  seseorang  sudah  memiliki  satu
nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan
labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir  tahun.
Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam
bentuk uang dari  kekayaan  wajib  zakat  yang  belum  cukup
masanya  setahun,  misalnya  seseorang  yang  menjual  hasil
tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10  atau  1/20,
begitu  juga  seseorang  menjual  produksi ternak yang sudah
dikeluarkan zakatnya, maka  uang  yang  didapat  dari  harga
barang  tersebut  tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga.
Hal itu untuk menghindari adanya  zakat  ganda,  yang  dalam
perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
 
Yang   kita   bicarakan   disini,   adalah   tentang  "harta
penghasilan," yang  berkembang  bukan  dari  kekayaan  lain,
tetapi  karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi
modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis  dengan
kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.
 
Berlaku  jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan
hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan  zakat  hartanya
yang  sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun
harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib  zakat  terhitung
saat   harta   tersebut   diperoleh   dan   susah  terpenuhi
syarat-syarat zakat  yang  berlaku  seperti  cukup  senisab,
bersih  dari  hutang,  dan  lebih  dari  kebutuhan-kebutuhan
pokok?
 
Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas  adalah  pendapat
ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan
para ulama fikih itu adalah  bahwa  masa  setahun  merupakan
syarat  mutlak  setiap  harta benda wajib zakat, harta benda
perolehan maupun  bukan.  Hal  itu  berdasarkan  hadis-hadis
mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa
hadis-hadis tersebut berlaku bagi  semua  kekayaan  termasuk
harta hasil usaha.
 
Di  bawah  ini  dijelaskan  tingkatan  kebenaran hadis-hadis
tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam
hadis membenarkannya.
                                       (Daftar Isi, sesudah)

 
---------------------------------------------------
HUKUM ZAKAT
Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Qur'an dan Hadis
Dr. Yusuf Qardawi
Litera AntarNusa dan Mizan, Jakarta Pusat
Cetakan Keempat 1996, ISBN 979-8100-34-4


















KELEMAHAN HADIS-HADIS TENTANG KETENTUAN SETAHUN
 
Ketentuan setahun  itu  ditetapkan  berdasarkan  hadis-hadis
dari  empat  sahabat,  yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah
r.a. Tetapi hadis-hadis  itu  lemah,  tidak  bisa  dijadikan
landasan hukum.
 
HADIS DARI ALI
 
Hadis dari Ali diriwayatkan oleh Abu Daud
tentang Zakat Ternak.
 
"Kami diberitahu oleh Sulaiman bin Daud al-Mahri, oleh  Ibnu
Wahab,  oleh  Jarir bin Hazim, yang lain mengatakan dari Abu
Ishaq, dari Ashim bin Dzamra  dan  Haris  'A'war,  dari  Ali
r.a.,  dari  Nabi  s.a.w.  Bila  engkau  mempunyai dua ratus
dirham dan  sudah  mencapai  waktu  setahun,  maka  zakatnya
adalah  5 (lima) dirham, dan tidak ada suatu kewajiban zakat
yaitu atas emas-sampai engkau mempunyai  dua  puluh  dinar
dan  sudah  mencapai  masa  setahun,  yang  zakatnya  adalah
setengah dinar. Lebih dari itu menurut  ketentuan  di  atas,
Abu   Daud   berkata,  "Saya  tidak  tahu  apakah  Ali  yang
mengatakan  "Lebih  dari  itu  menurut  ketentuan"  tersebut
ataukah yang mengatakannya Nabi sendiri. Begitu juga tentang
ketentuan masa  setahun  bagi  wajib  zakat,  selain  ucapan
Jarir,  "Hadis  dari  Nabi tersebut bersambung dengan "Tidak
ada kewajiban zakat atas satu kekayaan sampai melewati waktu
setahun."
 
Demikian   hadis   Ali  yang  diriwayatkan  oleh  Abu  Daud,
sedangkan penilaian ulama-ulama hadis tentang hadis tersebut
sebagai berikut:
 
a. Ibnu Hazm berkata, diikuti oleh Abdul Haq dalam Ahkamuhu,
   "Hadis itu diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim
   dari Abu Ishaq dari Ashim dan Haris dari Ali. Abu Ishaq
   membandingkan antara Ashim dan Haris, Haris adalah pembohong
   yang menyangkutkannya kepada Nabi s.a.w., sedangkan Ashim
   tidak menyangkutkannya. Kemudian Jarir menggabungkan kedua
   hadis dari kedua orang tersebut. Hadis tersebut diriwayatkan
   pula oleh Syuibah, Sufyan, dan Mu'ammar dari Abu Ishaq dari
   Ashim dari Ali secara mauquf. Demikian juga semua yang
   diriwayatkan oleh Ashim mesti hanya sampai kepada Ali.
   Seandainya Jarir menyangkutkannya ke Ashim dan menjelaskan
   hal tersebut, kita akan menerimanya.
 
b. Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish-mengomentari
   pendapat Ibnu Hazm-"Hadis tersebut diriwayatkan oleh
   Turmizi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali
   sebagai hadis marfu'.
 
   Menurut saya hadis Abu Awanah tidak menyebut-nyebut
   masalah setahun, yang oleh karena itu tidak bisa dijadikan
   landasan hukum. Teksnya sebagaimana diriwayatkan oleh
   Turmizi mengenai zakat emas dan uang adalah sabda Rasul,
   "Saya dulu memaafkan zakat kuda dan uang, sekarang
   keluarkanlah zakatnya: dari setiap empat puluh dirham satu
   dirham, seratus sembilan puluh tidak ada zakatnya, tetapi
   bila sudah mencapai dua ratus dirham maka zakatnya lima
   dirham.
 
c. Semua ini berdasarkan pendapat bahwa Ashim terjamin
   kejujurannya tetapi sebenarnya ia tidak bebas dari cacat.
   Mundziri dalam Mukhtashar as-Sunan mengatakan  bahwa Haris
   dan Ashim tidak bisa dipercaya. Tetapi Zahabi dalam Mizan
   al-I'tidal mengatakan bahwa terdapat empat orang memperoleh
   hadis itu darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu'ayyan dan Ibnu
   Madini. Ahmad berkata bahwa ia lebih baik dari Haris-A'war
   dan dapat dipercaya. Nasa'i juga berpendapat demikian.
   Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadis
   tersebut sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hiban, Ashim
   mempunyai daya hafal yang jelek, banyak salah, dan selalu
   menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang oleh karena itu
   lebih baik tidak diperhatikan, namun ia lebih baik dari
   Haris.  Ucapan ini mendukung pendapat Mundzir, bahwa hadis
   tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum.
 
d. Dengan demikian hadis tersebut ada cacatnya, sebagaimana
   diperingatkan oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish  bahwa hadis
   yang kita sebutkan dari Abu Daud tersebut ada cacatnya. Ia
   mengatakan bahwa Ibnu Muwaq memperingatkan bahwa hadis
   tersebut mempunyai cacat yang tersembunyi, yaitu bahwa Jarir
   bin Hazim tidak mungkin mendengarnya dari Abu Ishaq, tetapi
   diriwayatkan oleh banyak penghafal seperti Sahnun, Harmala,
   Yunus, Bahr bin Nashir, dan lain- lainnya dari Ibnu Wahab
   dari Jarir bin Hazim dari Haris bin Nabhan dari Hasan bin
   'Imarah dari Abu Ishaq. Ibnu Muwaq berkata bahwa meragui
   kebenaran hadis tersebut karena Sulaiman adalah guru Abu
   Daud merupakan dugaan-dugaan untuk menjatuhkan seseorang
   saja. Hasan bin 'Imarah yang tidak terdapat dalam sanad
   jelas tidak dapat dibenarkan.
 
Dengan demikian kita  dapat  melihat  bahwa  hadis  tersebut
tidak  dapat  dijadikan landasan. Sikap Ibnu Hajar yang diam
saja atas kritikan Ibnu Muwaq atas  hadis  tersebut,  bahkan
menegaskan   hadis  tersebut  ada  cacatnya,  dinilai  sudah
menyimpang dari pendapatnya dalam at-Talkhish,  bahwa  hadis
Ali  benar sanadnya dan dikuatkan oleh banyak atsar sehingga
dapat dijadikan landasan hukum.
 
Jelaslah  bahwa  dalam  hadis   tersebut   terdapat   banyak
kekurangan.  Yaitu  dari  pihak  Haris yang diduga pembohong
karena  sebagian  saja  mengatakan  hadis   itu   ke   pihak
sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya,
dan dari segi cacat seperti  disebut  oleh  Ibnu  Muwaq  dan
dikuatkan  oleh  Ibnu  Hajar.  Dan  menurut  pendapat  saya,
Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang  yang  menganggap
bahwa  hadis  Ali  adalah  hasan, bila mengetahui cacat yang
diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang juga dikuatkan oleh  Ibnu
Hajar  dalam  bukunya  tersebut, pasti akan meralat pendapat
mereka, dan  akan  menyatakan  bahwa  hadis  tersebut  betul
bercacat.
 
HADIS DARI IBNU UMAR
 
Mengenai hadis dari Ibnu  Umar,  Ibnu  Hajar  berkata  bahwa
hadis   yang   diriwayatkan  oleh  Daruquthni  dan  Baihaqi,
didalamnya terdapat Ismail  bin  Iyasy  yang  menerima  dari
sumber  bukan penduduk Syam, adalah lemah. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Numair,  Mu'tamar,  dan  lain-lain  dari  gurunya,
yaitu  Ubaidillah  bin  Umar,  yang  meriwayatkan dari Nafi'
kemudian terputus, yang  dibenarkan  oleh  Daruquthni  dalam
al-'Ilal bahwa hadis tersebut memang mauquf.
 
HADIS DARI ANAS
 
Mengenai  hadis  dari  Anas,  Daruquthni  meriwayatkan  yang
didalamnya  ada  Hasan  bin  Siyah  yang  lemah  yang  telah
meriwayatkan  sendiri  saja dari Sabit (Talkhish: 175) bahwa
Ibnu Hiban berkata dalam kitab adz-Dzu'afa' bahwa ia meragui
hadis  itu  yang tidak diperbolehkannya untuk landasan hukum
karena ia meriwayatkannya sendiri saja.
 
HADIS DARI AISYAH
 
Hadis dari Aisyah diriwayatkan oleh Ibnu Majah,  Daruquthni,
Baihaqi,  serta  Uqaili  dalam adz-Dzu'afa' bahwa didalamnya
terdapat Harisha bin Abur Rijal, yang lemah.
 
Ibnu Qayyim berkata dalam Tahdhib  Sunan  Abi  Daud    hadis
bahwa  tidak ada zakat pada harta benda sampai lewat setahun
diriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang shahih.  Muhammad
bin  Ubaidillah  bin  Munadi  berkata  bahwa  hadis tersebut
diriwayatkan  kepada  mereka  oleh  Abu  Zaid   Syuja,   bin
al-Walid,  dari  Harisha bin Muhammad dari Umrah dari Aisyah
"Saya mendengar Rasulullah bersabda:  "Tidak ada zakat  pada
suatu  harta  sampai  lewat  setahun," diriwayatkan oleh Abu
Husain bin Basyran dari Usman bin Samak dari Ibnu Munadi.
 
Menurut saya adalah aneh Ibnu Qayyim menilai hadis  tersebut
shahih  dengan  sanad  tersebut  oleh karena bila kita tidak
menggubris Syuja, bin Walid ayah Badr gelar  yang  diberikan
padanya  lihat  al-Mizan,  jilid 2: 264 sedangkan tentangnya
Abu Hakim mengatakan suaranya hampir tidak kedengaran,  tua,
tidak  kuat,  tidak dapat dipercaya, tetapi mempunyai hadis-
hadis shahih lain dari sumber Muhammad bin Amru,  maka  kita
tidak  bisa  pula menganggap tidak ada gurunya yaitu Harisha
bin Muhammad yang sebenarnya adalah Harisha  bin  Abu  Rijal
sendiri,  yang  meriwayatkan  dari  Umrah  yang  hadis-hadis
darinya dianggap lemah oleh Daruquthni  dan  Uqaili.  Zahabi
berpendapat  dalam  bukunya  bahwa  Ahmad  dan Ibnu Mu'ayyan
menganggap hadis itu lemah, Nasa'i berpendapat  bahwa  hadis
tersebut  matruk,  sedangkan  Bukhari menilai hadis tersebut
tidak benar tak seorang pun yang mengakuinya. Madini berkata
bahwa    sahabat-sahabatnya   masih   menganggapnya   lemah,
sedangkan lbnu Adi mengatakan bahwa  kebanyakan  hadis  yang
diriwayatkan olehnya tidak benar.  Ini berarti bahwa menurut
ijmak perawinya lemah dan bercacat,  yang  oleh  karena  itu
tidak   mungkin   hadis  yang  diriwayatkan  sendirian  bisa
dianggap shahih. Agaknya ia memakai  nama  ayahnya - yaitu
Muhammad - dan  tidak  dengan nama aslinya yang terkenal -
yaitu  Abu  Rijal - merupakan  petunjuk  ketidak-  benaran
tersebut.
 
Hadis-hadis  tersebut  adalah  hadis-hadis  yang berhubungan
dengan persyaratan waktu setahun  (haul)  bagi  wajib  zakat
semua  jenis  harta  benda  baik  "harta  pendapatan" maupun
bukan.
























HADIS-HADIS TENTANG "HARTA PENGHASILAN"
 
Hadis khusus tentang "harta penghasilan"  diriwayatkan  oleh
Turmizi  dari  Abdur  Rahman bin Zaid bin Aslam dari bapanya
dari Ibnu Umar, "Rasulullah  s.a.w.  bersabda,  "Siapa  yang
memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai
lewat setahun di sisi Tuhannya."
 
Hadis yang diriwayatkan oleh Turmizi  juga  dari  Ayyub  bin
Nafi,  dari  Ibnu Umar, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka
tidak ada kewajiban zakat  atasnya  dan  seterusnya,"  tanpa
dihubungkan kepada Nabi s.a.w.
 
Turmizi  mengatakan  bahwa  hadis  itu lebih shahih daripada
hadis Abdur Rahman bin Zaid bin  Aslam,  Ayyub,  Ubaidillah,
dan  lainnya yang lebih dari seorang meriwayatkan dari Nafi,
dari Ibnu Umar secara mauquf.  Abdur  Rahman  bin  Zaid  bin
Aslam  lemah  mengenai  hadis, dianggap lemah oleh Ahmad bin
Hanbal, Ali Madini, serta ahli hadis lainnya,  dan  dia  itu
terlalu banyak  salahnya.   Hadis dari Abdur Rahman bin Zaid
juga diriwayatkan oleh  Daruquthni  dan  al-Baihaqi,  tetapi
Baihaqi,  Ibnu  Jauzi,  dan  yang lain menganggapnya mauquf,
sebagaimana  dikatakan  oleh   Turmizi.   Daruquthni   dalam
Gharaibu  Malik  meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim Hunaini
dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar begitu juga  Daruquthni
mengatakan  bahwa  hadis  tersebut  lemah,  dan  yang shahih
menurut Malik adalah mauquf. Baihaqi meriwayatkan  dari  Abu
Bakr,  Ali,  dan Aisyah secara mauquf, begitu juga dari Ibnu
Umar. Ia mengatakan bahwa yang jadi pegangan  dalam  masalah
tersebut   adalah   hadis-hadis   shahih   dari   Abu   Bakr
ash-Shiddiq,  Usman  bin  Affan,  Abdullah  bin  Umar,   dan
lain-lainnya.
 
Dengan  penjelasan  ini  jelaslah  bagi  kita bahwa mengenai
persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar  hadis  yang
tegas  dan  berasal dari Nabi s.a.w, apalagi mengenai "harta
penghasilan" seperti dikatakan oleh Baihaqi.
 
Bila benar berasal dari Nabi s.a.w., maka hal  itu  tentulah
mengenai kekayaan yang bukan "harta penghasilan" berdasarkan
jalan tengah dan banyak dalil tersebut. Ini  bisa  diterima,
yaitu  bahwa  harta  benda  yang  sudah dikeluarkan zakatnya
tidak wajib zakat  lagi  sampai  setahun  berikutnya.  Zakat
adalah  tahunan tidak bisa dipertengahan lagi. Dalam hal ini
hadis itu bisa berarti bahwa zakat tidak  wajib  atas  suatu
kekayaan  sampai  lewat setahun. Artinya tidak ada kewajiban
zakat lagi atas harta benda yang sudah dikeluarkan  zakatnya
sampai  lewat lagi masanya setahun penuh. Hal ini sudah kita
jelaskan dalam fasal pertama bab ini.
 
Petunjuk lain bahwa hadis-hadis  yang  diriwayatkan  tentang
ketentuan   setahun  atas  "harta  penghasilan"  itu  adalah
ketidak-sepakatan para sahabat yang akan kita jelaskan. Bila
hadis-hadis tersebut shahih, mereka tentu akan mendukungnya.
 
Ketidak-sepakatan  para  Sahabat  dan Tabi'in dan Sesudahnya
tentang Harta Benda Hasil Usaha
 
Bila mengenai ketentuan setahun tidak ada nash yang  shahih,
tidak pula ada ijmak qauli ataupun sukuti, maka para sahabat
dan tabi'in tidak sependapat pula tentang ketentuan  setahun
pada   "harta   penghasilan."   Diantara   mereka  ada  yang
memberikan ketentuan setahun itu, dan ada  pula  yang  tidak
dan  mewajibkan  zakat  dikeluarkan sesaat setelah seseorang
memperoleh kekayaan penghasilan tersebut.
 
Ketidak-sepakatan mereka itu tidak  berarti  bahwa  pendapat
salah  satu  pihak  lebih  kuat  dari  pendapat  yang  lain.
Persoalannya harus  diteropong  dengan  nash-nash  lain  dan
aksioma  umum  Islam  seperti  firman  Allah,  "Bila  kalian
berselisih dalam sesuatu,  kembalikanlah  kepada  Allah  dan
Rasul."  (Quran,  4:59).  Qasim  bin  Muhammad  bin Abu Bakr
ash-Shiddiq mengatakan  bahwa  Abu  Bakr  ash-Shiddiq  tidak
mengambil  zakat  dari  suatu  harta sehingga lewat setahun.
Umra binti Abdir Rahman dari Aisyah mengatakan  zakat  tidak
dikeluarkan   sampai   lewat  setahun,  yaitu  zakat  "harta
penghasilan." Hadis dari Ali bin  Abi  Thalib,  "Siapa  yang
memperoleh  harta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya
sampai lewat setahun." Demikian pula dari Ibnu Umar.
 
Hadis-hadis dari para sahabat itu menunjukkan,  bahwa  zakat
tidak  wajib  atas harta benda sampai berada pada pemiliknya
selama setahun, meskipun harta  penghasilan.  Namun  sahabat
lainnya   tidak   menerima   pendapat  tersebut,  dan  tidak
memberikan syarat satu tahun atas zakat  harta  penghasilan.
Ibnu   Hazm   mengatakan   bahwa   Ibnu  Syaibah  dan  Malik
meriwayatkan  dalam  al-Muwaththa  dari  Ibnu  Abbas,  bahwa
kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati
adalah yang memilikinya adalah seseorang Muslim.
 
Mereka yang meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  tersebut  bahwa
zakat   dari  harta  penghasilan  harus  segera  dikeluarkan
zakatnya tanpa  menunggu  satu  tahun  adalah  lbnu  Mas'ud,
Mu'awiyah  dari  sahabat,  Umar  bin  Abdul Aziz, Hasan, dan
az-Zuhri dari kalangan  tabi'in,  yang  akan  kita  jelaskan
dalam fasal-fasal berikut.


































HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI'IN
 
1. IBNU ABBAS
 
Abu Ubaid  meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  tentang  seorang
laki-laki   yang  memperoleh  penghasilan  "Ia  mengeluarkan
zakatnya pada hari ia memperolehnya."
 
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah  dari  Ibnu
Abbas.   Hadis  tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana
ditegaskan  Ibnu  Hazm.  Hal   itu   menunjukkan   ketiadaan
ketentuan  satu  tahun  bagi harta penghasilan, menurut yang
difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda
pendapat  mengenai  itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas
memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak  sedangkan
saya  menganggapnya  tidak  demikian.  Menurut  saya ia sama
sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai  dengan
pendapat  umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat
tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta  benda.
Bila  Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak
tahu apa maksud hadis tersebut.
 
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan  zakat  harta
benda  dan  ini  tidak  bisa diragukan. Ia memiliki beberapa
ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering  saya  kutip,
namun  saya  menilai  pendapatnya  dalam  masalah ini lemah;
karena tidak sesuai dengan apa yang  difahami  dengan  serta
merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama
sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka
ia  tidak  akan  dipandang  istimewa  oleh  Ibnu Abbas, yang
banyak meriwayatkan darinya.
 
Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya
tanpa   penafsiran,   kecuali  bila  terdapat  sesuatu  yang
menghambat  pemahaman  menurut  zahirnya   tersebut   tetapi
penghambat itu tidak ada.
 
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk
menerima  pengertian  zahir  hadis  tersebut   tidak   dapat
diterima karena:
 
1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat.
   Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah,
   yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar
   bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
 
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang
   mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk
   menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan
   pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya
   bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian,
   maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan
   pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus
   mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang
   lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi
   kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak
   terjadi.
 
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal
   yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang
   terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya
   mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging
   himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas
   tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari
   zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
 
Abu Ubaid sendiri  tidak  mengharuskan  penafsiran  tersebut
mesti  diumumkan,  tetapi  mengatakan  saya  duga  atau saya
mengira, dan dalam penutup ia  mengatakan;  "Bila  ia  (Ibnu
Abbas)  tidak  memaksudkan,  maka saya tidak tahu apa maksud
hadis tersebut?"
 
2. IBNU MAS'UD
 
Abu  Ubaid  meriwayatkan  pula  dari  Hubairah  bin  Yaryam,
Abdullah  bin  Mas'ud  memberikan  kami  keranjang-keranjang
kecil kemudian menarik zakatnya.  Abu Ubaid menafsirkan lain
hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah
wajib  dikeluarkan  zakatnya   waktu   itu,   bukan   karena
diberikan.
 
Penafsiran   lain   itu   kadang-kadang   dilakukan   takwil
serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna  yang  dapat
langsung  difahami,  dan  berbeda  pula dengan pendapat yang
berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas
adalah  penarikan  zakat  atas pemberian Hubairah mengatakan
bahwa lbnu  Mas'ud  mengeluarkan  zakat  pemberian  yang  ia
terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah,
dan at  Tabrani,    juga  meriwayatkan  demikian.   Hubairah
sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan
oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir  sama
dengan  apa  yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang
dengan Pengurangan Sumber,  bukan  diambil  karena  kekayaan
asal  memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa
setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari  pemberian
lain  tentu  ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian
yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh  lima
dari  setiap  seribu  yang  mungkin lebih sedikit atau lebih
banyak  dari  seharusnya.   Barangkali   Abu   Ubaid   belum
mengetahui  riwayat  itu,  sehingga  dia  memberikan  takwil
tersebut.
 
3. MU'AWIYAH
 
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa  orang  yang
pertama   kali   mengenakan   zakat  dari  pemberian  adalah
Mu'awiyah bin Abi Sufyan.    Barangkali  yang  ia  maksudkan
adalah  orang  yang  pertama mengenakan zakat atas pemberian
dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada  yang  mengenakan
zakat  atas  pemberian  yaitu  Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah
kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan
Ibnu  Mas'ud  tersebut,  karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah,
sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
 
Yang jelas adalah  bahwa  Mu'awiyah  mengenakan  zakat  atas
pemberian  menurut  ukuran  yang berlaku dalam negara Islam,
karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan  yang
jelas  adalah  bahwa  zaman  Mu'awiyah penuh dengan kumpulan
para  sahabat  yang  terhormat,   yang   apabila   Mu'awiyah
melanggar    hadis    Nabi    atau    ijmak    yang    dapat
dipertanggungjawabkan para sahabat tidak  begitu  saja  akan
mau  diam.  Para  sahabat  pernah tidak menyetujui Mu'awiyah
tentang masalah lain,  ketika  Mu'awiyah  memungut  setengah
sha'  gandum  zakat  fitrah  untuk  imbalan  satu sha' bukan
gandum,  seperti  diberitakan  hadis  Abu   Said   al-Khudri
sedangkan   Mu'awiyah   sendiri  - meski  dikatakan  bahwa
ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak
bermaksud  menyanggah  sunnah  yang  tegas  dari  Rasulullah
s.a.w.
 
4. UMAR BIN ABDUL AZIZ
 
Empat periode Mu'awiyah,  datanglah  pembaru  seratus  tahun
pertama  yaitu  khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru
yang diterapkannya adalah pemungutan zakat  dari  pemberian,
hadiah, barang sitaan, dan lain
 
Abu  Ubaid  menyebutkan  bahwa  bila  Umar  memberikan  gaji
seseorang  ia  memungut  zakatnya,  begitu  pula   bila   ia
mengembalikan   barang   sitaan.   Ia  memungut  zakat  dari
pemberian bila telah berada di tangan penerima.
 
Dengan  demikian  ucapan  ('Umalah)  adalah   sesuatu   yang
diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan
karyawan pada masa sekarang. Harta  sitaan  (mazalim)  ialah
harta  benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak
benar  pada  masa-masa  yang  telah  silam  dan   pemiliknya
menganggapnya  sudah  hilang  atau tidak ada lagi, yang bila
barang tersebut  dikembalikan  kepada  pemiliknya  merupakan
penghasilan  baru  bagi  pemilik  itu.  Pemberian  (u'tiyat)
adalah  harta  seperti  honorarium  atau  biaya  hidup  yang
dikeluarkan   oleh   Baitul  mal  untuk  tentara  Islam  dan
orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
 
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa  Umar  bin  Abdul  Aziz
memungut zakat  pemberian  dan  hadiah.  Itu adalah pendapat
Umar.  Bahkan  hadiah-hadiah  atau  bea-bea  yang  diberikan
kepada  para  duta  baik  sebagai pemberian, tip, atau kado,
ditarik zakatnya. Hal itu sama  dengan  apa  yang  dilakukan
oleh  banyak  negara  sekarang  dalam  pengenaan  pajak atas
hadiah-hadiah tersebut.






































PARA ULAMA FIKIH LAIN DAN KALANGAN TABI'IN DAN LAINNYA
 
1. Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" yang
   bersumber dari Zuhri dan Hasan adalah seperti yang
   diutarakan Ibnu Hazm. (Kita akan mengulas sedikit hal
   tersebut waktu membicarakan cara pengeluaran zakat "harta
   penghasilan"). Sebelum itu sudah terdapat pendapat serupa
   dari al-Auza'i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan
   berpendapat yang mirip hal itu. Dan kita telah menerangkan
   dalam fasal sebelum ini pendapat tentang seseorang yang
   mengambil sewa dari penyewaan rumahnya bahwa ia harus
   mengeluarkan zakat hasil sewaan tersebut ketika menerimanya,
   sebagaimana disebutkan dalam al- Mughni. Ahmad berpendapat,
   dari sumber beberapa orang, bahwa orang itu mengeluarkan
   zakatnya ketika menerimanya. Ibnu Mas'ud meriwayatkan dengan
   sanad ia sendiri apa yang telah kita terangkan diatas
   tentang zakat pemberian.
   
2. Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan
   Baqir dari kalangan ulama-ulama Makkah sebagaimana juga
   mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh sejumlah
   senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung.
   
   Alasan mereka  adalah  keumuman  nash-nash  yang  mewajibkan
   zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya
   1/40." (Muttafaq 'alaihi).
 
Berdasarkan hadis itu masa setahun tidak  merupakan  syarat,
tetapi  hanya  merupakan  tempo antara dua pengeluaran zakat
dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain  hanya  pada
saat   harus  dikeluarkan  yaitu  akhir  tahun,  sebagaimana
dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa
melihat  keadaan  harta  tersebut  pada  awal  tahun:  cukup
senisab atau tidak.
 
PERBEDAAN MAZHAB EMPAT DALAM MASALAH HARTA PENGHASILAN
 
Para imam mazhab empat berbeda pendapat  yang  cukup  kisruh
tentang  harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Hazm dalam al- Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Abu Hanifah
berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya
bila mencapai masa setahun penuh  pada  pemiliknya,  kecuali
jika   pemiliknya   mempunyai   harta   sejenis  yang  harus
dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta  penghasilan
itu  dikeluarkan  pada  permulaan  tahun dengan syarat sudah
mencapai  nisab.  Dengan   demikian   bila   ia   memperoleh
penghasilan   sedikit   ataupun  banyak - meski  satu  jam
menjelang waktu setahun dari harta  yang  sejenis  tiba,  ia
wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan
pokok harta yang sejenis  tersebut,  meskipun  berupa  emas,
perak,  binatang  piaraan,  atau  anak-anak binatang piaraan
atau lainnya.
 
Tetapi  Malik  berpendapat  bahwa  harta  penghasilan  tidak
dikeluarkan  zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta
tersebut sejenis dengan jenis harta  pemiliknya  atau  tidak
sejenis,  kecuali  jenis  binatang piaraan. Karena itu orang
yang memperoleh penghasilan berupa  binatang  piaraan  bukan
anaknya  sedang  ia  memiliki  binatang piaraan yang sejenis
dengan yang  diperolehnya,  zakatnya  dikeluarkan  bersamaan
pada  waktu  penuhnya  batas  satu  tahun  binatang  piaraan
miliknya itu bila sudah mencapai  nisab.  Kalau  tidak  atau
belum  mencapai  nisab  maka  tidak  wajib zakat Tetapi bila
binatang  piaraan  penghasilan  itu  berupa  anaknya,   maka
anaknya  itu  dikeluarkan  zakatnya berdasarkan masa setahun
induknya baik induk tersebut sudah  mencapai  nisab  ataupun
belum mencapai nisab.
 
Syafi'i  mengatakan  bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan
zakatnya bila mencapai waktu setahun  meskipun  ia  memiliki
harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak
binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya
yang  sudah  mencapai  nisab,  dan bila tidak mencapai nisab
maka tidak wajib zakatnya.
 
Ibnu Hazm tampil - dengan  caranya  yang  menggebu-gebu  -
dengan  pendapat  bahwa  pendapat-pendapat  di  atas  adalah
salah.   Ia    mengatakan    bahwa    salah    satu    bukti
pendapat-pendapat  itu  salah  adalah  cukup  dengan melihat
kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya  dugaan-dugaan
belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan,
yang tidak ada landasan salah satu pun dari  semuanya,  baik
dari  Quran  atau  hadis  shahih  ataupun  dari riwayat yang
bercacat sekalipun, tidak perlu dari  Ijmak  dan  Qias,  dan
tidak  pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima.
Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah
tersebut  dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku
bagi seluruh  harta  benda,  uang  penghasilan  atau  bukan,
bahkan   termasuk   anak-anak   binatang  piaraan.  Hal  itu
bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri  yang  keluar
dari  pertentangan  itu  dengan pendapat bahwa seluruh harta
penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia
sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh
orang-orang lain di atas.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar