Minggu, 27 Mei 2012

Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah


Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah
Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAWW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.
Mazhab Syi’ah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali a.s., Imam Hasan a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s. yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.
Setelah Imam Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s., putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah.
Pasca syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:
a.  Mayoritas pengikut Syi’ah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
b.  Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah  yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.
c.  Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.
d.  Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
e.  Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.
Setelah Imam Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam Syi’ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.
Setelah Imam Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s. yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.
Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
a.Syi’ah Zaidiyah
Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai imam Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan.
Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
b.Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran Cabangnya
Ø   Bathiniyah
Imam Shadiq a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Sebagian kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati. Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya.
Dua kelompok pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.
Secara global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.
Mereka juga meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua adalah imam sebagai washinya.
Bumi ini tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah, dan hujjah tersebut selalu berjumlah 7 orang. Ketika seorang nabi diutus, ia akan memiliki syari’at dan wilayah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh washi datang silih berganti untuk meneruskan ajarannya. Ketujuh washi tersebut memiliki kedudukan yang sama, yaitu kewashian kecuali washi terakhir. Ia memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, kewashian dan wilayah. Dan begitulah seterusnya, setelah washi ketujuh meninggal dunia, ia akan memiliki tujuh orang washi dan washinya yang ketujuh memiliki tiga kedudukan di atas sekaligus.
Menurut keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah. Setelah meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi. Washinya yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan kenabian, kewashian dan wilayah. Nabi Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah SAWW (Imam Ali a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., Imam Shadiq a.s., Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin Ismail, terdapat tujuh orang washi yang nama dan identitas mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal itu berlalu, terdapat tujuh orang washi lagi. Mereka adalah tujuh raja pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah Al-Mahdi.
Mereka juga meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas orang nuqaba`. Mereka adalah para sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran cabang Ismailiyah yang bernama Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang dari dua belas nuqaba` tersebut adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.
Pada tahun 278 H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika, seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia memilih dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan tidak lama kemudian ia menghilang.
Setelah orang tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi jenabah dan menghalalkan khamer. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.
Para pengikut Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua orang yang ada di kafilah tersebut.
Abu Thahir Al-Qirmithi, salah seorang pemimpin Bathiniyah menaklukkan Bashrah pada tahun 311 H. dan ia membunuh penduduk secara besar-besaran serta merampok semua harta yang mereka miliki. Pada tahun 317 H., ia bersama para pengikut Bathiniyah pergi ke Makkah dan setelah terjadi pertempuran kecil antara mereka dan pasukan keamanan pemerintahan setempat, mereka dapat mengalahkan pasukan tersebut dan berhasil memasuki kota suci Makkah. Begitu memasuki kota Makkah, semua jenis pembunuhan dan perampokan mereka lakukan. Masjidil Haram pun sudah tidak memiliki arti bagi mereka. Dari dalam masjid suci tersebut darah mengalir bak air mengalir di dalam parit. Kain penutup Ka’bah mereka robek-robek dan dibagikan di antara mereka sendiri. Tidak hanya sampai di situ, pintu Ka’bah mereka hancurkan dan Hajar Aswad mereka bawa ke Yaman. Hajar Aswad berada di tangan Qaramithah selama 22 tahun.
Karena perilaku mereka yang asusila dan menentang agama, mayoritas pengikut Bathiniyah yang lain menganggap kelompok ini telah keluar dari agama Islam. Ubaidillah Al-Mahdi sendiri yang waktu itu adalah khalifah pertama dinasti Fathimiyah di Mesir, pemimpin mazhab Ismailiyah dan menganggap dirinya adalah Imam Mahdi a.s. yang telah dijanjikan oleh hadis-hadis mutawatir, menyatakan tidak ikut campur tangan berkenaan dengan mazhab Qaramithah.
Ø   Nazzariyah dan Musta’liyah
Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li. Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.
Setelah persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.
Nazzariyahadalah para pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran, dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah Hasan Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran Bathiniyah.
Hal ini terus berjalan lancar hingga Holaku Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay, India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah. Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.
Musta’liyah adalah para pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.
Ø   Duruziyah
Pada mulanya Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan, atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di tengah-tengah masyarakat.
Ø   Muqanni’iyah
Pada mulanya Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’. Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.
c.  Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah
Mayoritas Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah SAWW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah (kepemimpinan) dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala bidang ilmu pengetahuan.
Mereka meyakini bahwa Rasulullah SAWW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s. tersebut --berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah dua belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka juga meyakini bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan manusia dan hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan renovasi. Bahkan hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari kiamat.
Dari sini dapat diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak prerogatif Ahlul Bayt a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta mereka tidak mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah penutup para nabi dan hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan --menurut keyakinan Bathiniyah-- kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.
Mazhab Syi’ah Ja’fariyah
1.      Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok besar dari umat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼ jumlah umat Islam. Latar belakang sejarahnya bermuara pada masa permulaan Islam, yaitu saat turunnya firman Allah swt. surat Al-Bayyinah ayat 7 :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّة
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi. (QS. Al Bayyinah [98]:7)
Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan tangannya di atas pundak Ali bin Abi Thalib a.s., sedang para sahabat hadir dan menyaksikannya, seraya bersabda: “Hai Ali!, Kau dan para syi’ahmu adalah sebaik-baiknya penduduk bumi”. [1]
Dari sinilah, kelompok ini disebut dengan nama “syi’ah”, dan dinisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq a.s. karena mengikuti beliau dalam bidang fiqih.
2.      Banyak dari kelompok ini yang tinggal di Iran, Irak, Palestina, Afganistan, India, dan tersebar secara luas ke negara-negara republik yang memisahkan diri dari Rusia, juga ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, dan Benua Afrika serta Asia timur. Mereka memiliki masjid-masjid, Islamic Center,  pusat-pusat kegiatan budaya dan sosial.
3.      Kaum Syi’ah Ja’fariyah terdiri dari bangsa, suku, bahasa dan warna yang berbeda-beda. Mereka hidup secara berdampingan dengan saudara-saudara muslim yang lain dari golongan dan mazhab yang berbeda dengan penuh kedamaian dan kasih sayang. Dan mereka saling  mem-bantu dan bekerja sama di segala bidang dengan penuh
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhya orang-orang mukmin adalah saudara. (QS. Al-Hujurat  [49]:10)
Dan firman Allah swt.:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
Saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al-Maidah [5]:ٰ)
Dan berpegang teguh pada sabda Nabi saw.:  “Orang-orang muslim - satu sama lainnya- laksana tangan yang satu”. [2] Juga sabda yang lain dari beliau: “Orang-orang mukmin (satu sama lainnya) seperti satu tubuh”.[3]
4.      Sepanjang sejarah Islam, mereka memiliki sikap disegani dan posisi yang cemerlang dalam membela Islam dan kaum muslimin. Mereka juga telah mampu mendirikan pemerintahan-pemerintahan dan negara-negara yang ber-khidmat pada peradaban Islam. Begitu juga, mereka memiliki ulama-ulama serta ahli-ahli yang telah menyum-bangkan tenaga dan seluruh pikiran mereka untuk memperkaya warisan-warisan Islam; dengan cara menulis ratusan ribu karangan, buku-buku kecil dan besar di bidang tafsir Al-Quran, hadis, akidah, fiqih, ushul fiqih, akhlak, dirayah, rijal, filsafat, nasihat-nasihat, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, bahasa dan sastra bahkan kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, ilmu-ilmu biologi, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Dalam berbagai disiplin ilmu mereka memainkan peran sebagai perintis dan pencetus berbagai bidang keilmuan.[4]
5.      Mereka percaya kepada Allah Yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan, serta tak ada sekutu bagi-Nya. Mereka menafikan dari Dzat Allah swt. segala sifat-sifat kebendaan, anak, tempat, zaman, perubahan, gerak, naik dan turun, dan lain sebagainya yang tidak layak bagi keagungan, kesucian, kesempurnaan dan keindahan-Nya. Mereka juga meyakini bahwa hanya Dialah yang layak disembah, bahwa hukum serta syariat hanyalah milik dan hak-Nya, dan bahwa kemusyrikan dengan segala macam-nya, secara terbuka maupun rahasia—adalah  kezaliman yang amat besar dan dosa yang tak terampunkan.
     Mereka percaya akan semua ini dapat dibuktikan atas dasar akal yang sehat yang sejalan dengan Al-Quran dan hadits shahih; dari manapun sumbernya. Mereka tidak bersandar pada hadis-hadis Israiliyat dalam bidang akidah, tidak pula mengambil ajaran dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Majusi; yang menggam-barkan Allah swt. dalam bentuk manusia, menyerupakan-Nya dengan makhluk-makhluk, atau menyandarkan perbuatan zalim dan kesia-siaan kepada-Nya. Sesung-guhnya Allah Maha Suci dan Maha Luhur dari apa yang mereka duga atau menisbatkan perbuatan tercela kepada para nabi a.s. secara mutlak.
6.      Mereka meyakini bahwa Allah swt. Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dia menciptakan alam semesta atas dasar  keadilan dan kebijaksanaan. Dia tidak pernah mencip-takan sesuatu secara sia-sia, baik benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, langit atau bumi, karena kesia-siaan itu bertentangan dengan keadilan dan kebijaksanaan, juga bertentangan dengan sifat-Nya yang melazimkan setiap kesempurnaan yang niscaya dimiliki-Nya, serta melazimkan penafian segala kekurangan dari Dzat-nya.
7.      Mereka meyakini bahwa Allah swt.—dengan keadilan dan kebijasanaan-Nya—telah mengutus kepada manusia para nabi dan rasul yang diangkat sebagai manusia-manusia maksum dan memiliki pengetahuan yang luas, yang bersumber dari wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia, membantu mereka mencapai kesem-purnaan yang diharapkan, dan mengarahkan mereka kepada ketaatan yang menurunkan surga, dan menyam-paikan mereka kepada rahmat dan keridhaan Allah swt.
     Di antara para nabi dan rasul itu adalah Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s. dan nama-nama lainnya yang telah disebutkan oleh Al-Quran, atau yang ada disebutkan nama dan keadaan-keadaan mereka dalam hadis-hadis yang mulia..
8.      Mereka percaya bahwa siapa yang taat kepada Allah swt. dan melaksanakan perintah-perintah dan aturan-aturan-Nya di segala bidang kehidupan, ia akan selamat dan beruntung, serta layak mendapatkan pujian dan pahala,. meskipun ia hamba sahaya dari Afrika. Dan sebaliknya, siapa yang bermaksiat kepada Allah swt. dan pura-pura bodoh terhadap segala perintah-Nya dan menerapkan hukum-hukum selain hukum-hukum Allah, ia akan rugi dan binasa, dan layak mendapatkan hujatan dan siksa, meskipun ia seorang tuan atau sayyid dari bangsa Quraisy, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi saw. 
Mereka meyakini bahwa tempat pahala dan siksa adalah Hari kiamat, yang di dalamnya terdapat hari perhitungan, timbangan, surga, dan neraka. Dan hal itu akan terjadi setelah melewati alam kubur dan alam barzakh. Mereka juga menolak reinkarnasi (tanâsukh) yang dianut oleh sebagian pengingkar Hari Kebangkitan,  karena mempercayainya berarti mendustakan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw.
9.      Mereka meyakini bahwa nabi, rasul terakhir dan yang paling utama adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib saw., yang telah dijaga dari kesalahan dan ketergelinciran, dan Allah telah memeliharanya dari segala maksiat, baik yang besar maupun yang kecil, sebelum dan sesudah menjadi nabi, dalam tablig maupun di luar tablig. Dan Allah swt. telah menurunkan kepada-nya Al-Quran untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia sepanjang masa. Nabi saw. telah meyampaikan risalah-Nya dan menunaikan amanat-Nya dengan benar dan ikhlas. Kaum Syi'ah mempunyai puluhan ribu karya di bidang penulisan siroh nabawi, kepribadian, sifat-sifat, keistimewaan dan mukjizat-mukjizat  Nabi saw. [5]
10.  Mereka meyakini bahwa Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw. melalui Jibril a.s. dan ditulis oleh sekelompok sahabat-sahabat besar generasi pertama. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib a.s. pada masa Nabi saw. dan melakukan penulisan wahyu di bawah pengawasannya. Dan karena perintah dan petunjuknya, mereka menghafal dan menyempurnakannya, menghitung huruf-hurufnya, kata-katanya, surat-surat dan ayat-ayatnya. Dan mereka menurunkan ke generasi berikutnya. Kitab suci inilah yang dibaca umat Islam saat ini dengan berbagai macam kelompok, siang dan malam, tanpa ada penambahan, pengurangan dan perubahan. Dan kaum Syi’ah dalam bidang ini memiliki karya-karya tulis yang banyak,  baik yang besar maupun yang kecil.[6]
11.  Mereka meyakini bahwa tatkala Rasulullah saw. sudah dekat ajalnya, beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam sepening-galnya secara politis dan mengarahkan mereka kepada Ali untuk mengikutinya, baik dalam pemikiran atau dalam pemecahan persoalan hidup mereka, dan mene-ruskan pendidikan dan pembinaan mereka. Pengang-katan itu atas dasar perintah dari Allah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum” di akhir usia dan haji terakhirnya, dan di tengah kumpulan manusia yang ikut berhaji dengan Nabi saw. Menurut sebagian riwayat, jumlah mereka lebih dari 100 ribu orang.
      Pada kesempatan itu beberapa ayat Al-Quran telah turun, di antaranya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
 “Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika engkau itdak melaksanakannya berarti engkau tidak menyampai-kan risalah. Dan Allah akan melindungimu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. Al Maidah [5]:67)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
 “Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu dan aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku relakan  Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa dari agamamu, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” (QS Al-Maidah [5]:3)
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ  لِّلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
“Seorang penanya bertanya tentang suatu kejadian ke atas orang-orang kafir, azab yang tidak ada penghalang (langsung).” (QS. Al-Ma'arij [70]:1-2)
Begitu juga Nabi saw. meminta orang-orang untuk berbaiat kepada Ali dengan berjabat tangan. Maka merekapun segera berbaiat. Dan orang pertama dari mereka adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar, serta sahabat-sahabat ternama.[7]
12.  Mereka meyakini bahwa imam setelah Rasulullah saw.  harus melakukan apa-apa yang pernah dilakukan Nabi saw. semasa hidup beliau, yaitu tugas-tugas memimpin dan memberikan petunjuk, pendidikan dan pengajaran, menjelaskan hukum-hukum, mengatasi problematika pemikiran, serta mejelaskan urusan sosial yang penting. Maka, imam juga harus menjadi kepercayaan umat, agar mereka bisa diarahkan pada ketentraman. Oleh karena itu, seorang imam menyerupai Nabi dalam kemampuan dan sifat, di antaranya kemaksuman ('ishmah) dan ilmu yang luas. Karena, imam sama seperti Nabi dalam kewenangan dan tanggung jawab kecuali menerima wahyu dan kenabian, sebab kenabian telah tertutup dan berakhir pada Rasulullah saw., beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Agamanya adalah pemungkas seluruh agama, syariatnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh kitab. Tidak ada nabi setelahnya, tidak ada agama setelah agamanya, tidak ada syariat setelah syariatnya. Dan Syi’ah dalam hal ini memiliki karya-karya tulis yang banyak dan  berbagai corak..
13.  Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat terhadap pemimpin yang laik dan maksum, mengharuskan agar tidak cukup dengan penunjukan Ali a.s. saja sebagai khalifah dan pemimpin setelah Nabi, tetapi ini harus berkesinambungan sampai masa yang panjang dan sampai akar-akar Islam mengokoh dan dasar-dasar syariat terjaga, serta pilar-pilarnya terpelihara dari segala bahaya yang mengancam setiap akidah dan aturan-aturan Tuhan. Hendaknya para imam dapat memberikan contoh praktis dan program yang sesuai dengan kondisi-kondisi yang akan dialami umat Islam setelahnya. 
14.  Mereka meyakini bahwa karena sebab tersebut di atas dan karena adanya hikmah yang tinggi, dengan perintah Allah swt. Nabi saw. telah menentukan 11 Imam setelah Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan demikian, jumlah mereka adalah 12 imam. Jumlah ini bahkan nama etnis mereka (Quraisy) telah disinggung—meski tidak disebut-kan nama dan ciri-ciri khasnya—dalam kitab Shahih Bukhori, Shahih Muslim, dengan redaksi yang berbeda-beda, seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa: “Sesungguhnya agama ini akan senantiasa berjalan, tegak, mulia dan kuat selama di antara umat ada dua belas pemimpin atau khalifah yang semuanya berasal dari Quraisy”.  (atau Bani Hasyim, sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab). Bahkan disebutkan pula nama-nama mereka dalam sebagian kitab selain Kutub As-Sittah, yaitu buku-buku tentang keutamaan (manâqib), syair dan sastra. Meskipun hadis-hadis ini tidak secara langsung menye-butkan dan menentukan dua belas Imam,  yaitu Ali dan 11 Imam dari keturunannya, hanya saja hadis-hadis tersebut tidak bisa dimaknai kecuali keyakinan Syi’ah Ja’fariyah. Dan tidak ada penafsiran yang relevan untuk hadis-hadis tersebut kecuali penafsiran mereka.[8]
15.  Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa 12 imam  itu ialah :
1.      Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba a.s.
2.      Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.
3.      Imam Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya adalah putra Imam Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan cucunda Nabi saw.
4.      Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
5.      Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.
6.      Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.
7.      Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.
8.      Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
9.      Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.
10.  Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.
11.  Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.
12.  Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan dan dinantikan.
Para ahli sastra unggulan dari luar mazhab Syi’ah, baik dari kalangan Arab ataupun Ajam, telah membuat bait-bait syair secara terinci yang memuat nama-nama 12 imam seperti: Haskafi, Ibnu Thulun, Fadhl bin Ruz Dahan, Al-Jamiy’ Athar Naisyabur dan Maulawi mereka dari pengikut Abu Hanifah, Syafi’i dan selainnya. Di sini kami hanya sebutkan dua kasidah sebagai contoh: pertama kasidah Haskafi Al-Hanafi, ulama abad ke-6 Hijriah:
“Haidar (gelar imam Ali) dan setelahnya Hasan dan Husain, kemudian,
Ali Zainal Abidin dan putranya Muhammad Al-Bagir.
Ja’far Al-Shadiq dan putranya Musa Al-Khazim, dan setelahnya.
Ali (Ar-Ridha) yang menjadi waliyul Ahad, kemudian putranya Muhammad (Al-Jawad).
Kemudian Ali (Al-Hadi) dan putranya yang benar dan jujur, Hasan (Al-Askari).
Yang selanjutnya Muhammad bin Hasan yang di yakini oleh orang-orang bahwa mereka adalah imam-imamku, tuanku.
Meskipun orang-orang mencaciku dan mendustakannya dan mencaci para imam, ketahuilah, muliakanlah mereka para imam yang namanya telah terjaga dan tidak bisa ditolak.
Mereka itu hujah-hujah Allah atas hamba-hamba-Nya mereka adalah jalan dan tempat tujuan.
Mereka di waktu siang berpuasa untuk Tuhan, dan di malam hari mereka ruku' dan sujud di hadapanTuhan-Nya”.
Qasidah yang kedua dari Syamsuddin bin Muhammad bin Thulun Ulama abad ke-10 Hijriah, ia mengatakan :
“Kalian harus berpegang pada 12 imam dari keluarga Musthafa Rasul, sebaik-baik manusia , yaitu...
Abu Thurab (imam Ali), Hasan dan Husain.
Ketahuilah, membenci Ali Zainal Abidin perbuatan tercela…
Muhammad Al-Bagir yang mengetahui betapa banyak ilmu…
Ash-Shadiq yang dipanggil Ja’far di antara manusia …
Musa yang diberi gelar Al-Khazim dan putranya Ali.
Ar-Ridha yang tinggi kedudukannya.
Muhammad At-Taqi yang hatinya penuh dan makmur dengan cahaya dan hikmah.
Ali Al-Naqi yang mutiara-mutiaranya tersebar.
Hasan Al-Askaryi yang telah disucikan.
Dan muhammad Al-Mahdi yang akan muncul.
Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait, yang berdasar-kan perintah Allah swt, telah ditentukan oleh Nabi saw. sebagai pemimpin umat Islam, karena kemaksuman dan kesucian mereka dari kesalahan dan dosa, dan karena ilmu mereka yang luas yang telah mereka warisi dari sang datuk Nabi saw. yang telah memerintahkan kita untuk mencintai dan mengikuti mereka. Dalam hal ini Allah swt. berfiman:
قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
“Katakan hai Muhammad, Aku tidak meminta kepada kalian upah atas apa yang aku lakukan kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (QS. Al-Syura [42]:23)
Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
         “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah   dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah [9]:119)
16.  Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam suci—yang sejarah belum pernah mencatat dari mereka penyele-wengan atau kemaksiatan, baik dalam ucapan atau pun perbuatan—dengan bekal ilmu yang luas telah berkhid-mat kepada umat Islam dan memperkaya mereka dengan pengetahuan yang dalam serta pandangan yang benar dalam akidah, syariat, akhlak, sastra, tafsir, sejarah serta cakrawala masa depan. Demikian juga, mereka telah mendidik atau membina melalui ucapan atau perbuatan sekelompok laki-laki dan perempuan yang unggul di mana semua orang telah mengenal mereka dengan keutamaannya, ilmunya dan kebaikan prilakunya.
Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa meskipun mereka para imam telah dijauhkan dari kedudukan kepemim-pinan politis, tetapi mereka telah menunaikan dan menyampaikan misi intelektual dan tugas sosial mereka  dengan sebaik-baiknya, karena mereka telah menjaga dasar-dasar akidah dan pilar-pilar syariat dariancaman penyimpangan.
      Sekiranya umat islam memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan peran politik yang telah Rasul berikan kepadanya atas dasar perintah Allah swt.,   niscaya umat Islam akan mencapai kebahagian dan kemuliaan, serta keagungannya secara penuh, dan mereka akan menjadi satu, bersatu, dan tidak mengalami perpecahan, ikhtilaf dan pertentangan, peperangan, saling bunuh-membunuh, dan mereka tidak hina dan diremahkan.
17.  Dengan menunjuk pada dalil-dalil Naqli dan Aqli, yang begitu banyak disebutkan dalam buku-buku Akidah, mereka meyakini bahwa umat Islam hendaknya mengikuti Ahlul Bait Nabi, dan senantiasa berada di jalannya, karena jalan Ahlul Bait adalah jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. untuk umat dan beliau telah mewasiatkan kepada umat agar menapaki jalan mereka dan berpegang teguh pada mareka, sebagaimana dalam hadis “Tsaqalain” yang mutawatir, seraya berkata :
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua pusaka; kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku Ahlul Bait. Selama berpegang teguh pada keduanya,kalian tidak akan tersesat”.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya dan oleh puluhan ahli-ahli hadis dan ulama-ulama disetiap abad.  
Begitu pula, pengangkatan khalifah dan pewasiatan seperti ini adalah hal yang lumrah dalam kehidupan para nabi-nabi terdahulu.
18.  Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa umat Islam hendaknya mendiskusikan dan mempelajari masalah-masalah seperti ini dengan menjauhkan diri dari caci maki, tuduhan yang tak beralasan dan melakukan fitnah. Dan hendaknya para ulama dan cendikiawan dari seluruh kelompok dan golongan umat Islam ber-kumpul dalam muktamar-muktamar ilmiah, mem-pelajari dengan lapang dada dan ikhlas serta dengan semangat persau-daraan dan obyektifitas tentang klaim-klaim saudara-saudara mereka dari kaum Syi’ah Ja’fariah, serta dalil-dalil yang mereka bawakan untuk membuktikan pandangan-pandangannya berdasarkan Al-Quran, hadis mutawatir dari Rasulullah saw.,  akal sehat, pertimbangan sejarah, keadaan politik dan sosial secara umum pada masa Nabi dan setelahnya.
19.  Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat dan orang-orang yang berada di sekeliling Nabi dari kaum laki-laki dan perempuan telah berkhidmat kepada Islam dan mereka telah mengerahkan seluruh jiwa raganya di jalan penyebaran Islam.
Hendaknya umat Islam menghormati mereka, meng-hargai perjuangan dan bakti mereka dan memohon kerelaan mereka. Hanya saja, hal ini tidak berarti menganggap mereka semua sebagai manusia-manusia yang mutlak adil, tidak pula berarti sebagian sikap dan perbuatan-perbuatan mereka tidak bisa dikritik, karena mereka adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar.
Sejarah telah menyebutkan bahwa sebagian mereka telah menyimpang dari jalan yang benar meskipun di masa hidup Nabi saw. Bahkan Al-Quran secara eksplisit menyebutkan adanya penyimpangan itu di sebagian surat dan ayat-ayatnya, seperti surat Al-Munafiqun, Al-Ahzab, Al-Hujarat, At-Tahrim, Fath, Muhammad dan At-Taubah.
Kritik yang sehat terhadap suatu golongan tidaklah dinyatakan kafir, karena tolak ukur iman dan kufur sangat jelas, yaitu mengakui atau menafikan tauhid dan kenabian, serta hal-hal yang sangat mudah dimengerti (badihi) dari masalah agama, seperti kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya arak, khamar, judi dan hokum-hukum lainnya.
Memang, lidah harus dijaga dari perbuatan mencaci maki, juga pikiran harus dijaga dari cara bernalar yang dangkal, karena hal ini bukanlah karakter seorang muslim yang terdidik, yang mengikuti prilaku Nabi Muhammad saw. Bagaimanapun kebanyakan para sahabat itu adalah orang-orang baik yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. Tetapi perlu diketahui bahwa ketundukan mereka pada Qaidah Jarah wa Ta’dil (yaitu sebuah kaidah ilmu Rijal yang mempertimbangkan kualitas kepribadian para perawi hadis, -peny.), yaitu:
Meneliti hadis-hadis Nabi yang shahih, yang dianggap kuat, padahal telah diketahui pula akan banyaknya kebohongan-kebohongan yang telah dinisbatkan kepada Nabi saw., sebagaimana yang telah banyak diketahui. Dan Nabi saw. sendiri telah mengkhabarkan akan terjadinya hal itu, dan kalian pula yang mendorong ulama-ulama kedua kelompok (Sunnah-Syi’ah) seperti; Suyuthi, Ibnu Jauzi dan lain-lain untuk menulis buku-buku yang berbobot yang dapat menyaring antara hadis-hadis yang benar-benar keluar dari Nabi dan hadis-hadis maudhu’ atau palsu.   
20.  Syi’ah Ja’fariyah meyakini adanya Imam Mahdi a.s. yang dinanti berdasarkan riwayat-riwayat yang begitu banyak dari Nabi saw. yang menyebutkan, bahwa dia dari keturunan Fatimah, dan dia keturunan yang kesembilan dari Imam Husain a.s., karena anak atau keturunan yang kedelapan dari Imam Husain adalah Imam Hasan Al-Askari, yang telah meninggal pada tahun 260 H sedangkan beliau tidak mempunyai anak kecuali anak yang diberi nama Muhammad. Dialah Imam Mahdi a.s. yang diberi panggilan nasab Abul Qasim. Banyak orang-orang terpercaya dari umat Islam  yang telah melihatnya. Dan mereka telah meng-kabarkan akan kelahirannya, cirri-ciri khasnya, keimamahannya dan nas dari ayahnya yang me-nunjukkan kepemimpinannya.
Dia telah gaib setelah 50 tahun dari kelahirannya, karena musuh-musuh ingin membunuhnya. Oleh karena itu, Allah swt. menyimpannya untuk menegakkan pemerintahan yang adil, universal pada akhir zaman, dan mensucikan bumi dari kezaliman dan kerusakan setelah dipenuhi oleh keduanya.
Maka tidak aneh dan tidak pula mengherankan akan panjangnya usia beliau dan masih hidup sampai sekarang, meskipun sudah melampaui abad 20 dari kelahirannya. Sebagaimana Nabi Nuh a.s. pernah hidup sampai 950 tahun di tengah umatnya, dan menyeru mereka kepada Allah,atau Nabi Haidir a.s. yang sampai saat ini masih hidup.
      Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu, dan kehendaknya berjalan tanpa ada yang bisa mencegah dan menolaknya. Bukankah Allah swt. telah menegaskan ihwal Nabi Yunus a.s. dalam firmannya:
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
 Maka, sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai Hari Kebangkitan. (QS. Al-Shaffat [ 37]:143-144).
Sebagian besar ulama Ahli Sunnah meyakini kelahiran Imam Mahdi a.s. dan keberadaannya, dan mereka menyebutkan nama kedua orang tuanya, serta sifat-sifatnya, di antara mereka ialah:
1.      Abdul Mu’min Syablanji Al-Syafi’i dalam kitabnya, Al-Abshor fi Manaqibi Nabi al-Muchtar.
2.      Ibnu Hajar Haitami Makki Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ashowaiq al Muhriqah, seraya menga-takan; Abul Qasim Muhammad Al-Hujjah, ditinggal wafat oleh ayahnya pada usia lima tahun. tetapi Allah swt. memberikan hikmah padanya. Dia juga disebut sebagai “Al-Qaim Al-Muntazhar”.
3.      Al-Qunduzi Al-Hanafi Al-Balkhi dalam bukunya, Yanabi al Mawaddah, yang dicetak di ibukota Turki masa Dinasti Otoman.
4.      Sayyid Muhammad Shidiq Hasan Al-Qonuji Al-Bukhori dalam kitabnya, Al-Izhaa’ah Liman Kana waman Yakunu baina Yaday Assaa’ah.
Mereka ini termasuk ulama-ulama terdahulu. Adapun dari ulama-ulama mutakhir, seperti; Dr. Musthafa Rafi’i dalam bukunya Islamuna, telah memaparkan masalah ini secara panjang lebar dan menjawab seluruh kritik seputar masalah ini.
21.  Kaum Syi’ah Ja’fariyah melakukan shalat, puasa, haji, membayar khumus (1/5) pendapatan mereka, haji ke Mekkah yang mulia, melaksanakan manasik umrah dan haji seumur hidup sekali, sedangadapun dari itu adalah sunnah, memerintahkan yang makruf dan melarang  yang munkar, berpihak kepada wali-wali Allah dan Nabinya, dan memusuhi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Nabi-Nya, berjihad di jalan Allah terhadap setiap orang kafir atau musyrik yang terang-terangan memerangi Islam, dan terhadap setiap orang yang berbuat makar terhadap umat Islam.
      Mereka melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, keluarga, seperti jual beli, penyewaan, nikah, talak, warisan, pendidikan, menyusui, hijab dan lain sebagainya, sesuai dengan hukum-hukum Islam yang benar dan lurus. Mereka mengamalkan hukum-hukum ini dari proses ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama ahli fiqih mereka yang warak dengan berdasarkan pada hadis yang shahih, hadis-hadis Ahlul Bait, akal dan konsensus (ijma’)  ulama. 
22.  Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang bersifat harian, memiliki waktu tertentu, dan waktu-waktu shalat harian adalah Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Yang paling penting adalah melakukan setiap shalat pada waktunya yang khusus. Hanya saja, mereka melakukan jamak antara dua shalat Zuhur dan Ashar dan antara Magrib dan Isya karena Rasulullah saw. melakukan jamak dua shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan tanpa berpergian, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan kitab hadis lainnya, “Sebagai keringanan untuk umat serta untuk mempermudah bagi mereka”. Dan itu telah menjadi masalah biasa pada masa kita sekarang ini.
23.  Mereka mengumandangkan azan sebagaimana azannya umat Islam yang lain. hanya saja mereka sebutkan setelah hayya ‘alal falah dengan redaksi hayya ‘ala khairil ‘amal, karena telah ada sejak  zaman Nabi saw. Hanya saja, pada zaman Umar bin Khaththab, kalimat itu dihapus atas dasar ijtihad pribadinya, dengan alasan bahwa hal itu dapat memalingkan umat Islam dari berjihad. Padahal mereka tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik perbuatan (sebagaimana pengakuan Allamah Qusyji Al-Asy‘ari dalam kitab Syarah Tajrid Al-I'tiqad,Al-Mushannaf, karya Al-Kindi, Kanz Al-Ummal karya Muttaqi Hindi, dll. Umar bin Khaththab telah manambahkan sebuah redaksi Ashalatul khairul minanauum sementara kalimat itu tidak pernah ada pada zaman Nabi saw.
Dan sesungguhnya ibadah, dan muqaddimah-muqaddimahnya dalam Islam itu harus berdasarkan kepada perintah dan izin syariat yang suci. Artinya, segalanya harus berlandaskan pada nas yang khusus ataupun yang umum dari Al-Quran dan hadis. Bila tidak, maka hal itu dikatakan sebagai bid’ah yang harus ditolak.
Oleh karena itu, dalam ibadah, bahkan dalam setiap masalah syariat tidak boleh ada penambahan atau pengurangan dengan pendapat pribadi.
Adapun apa yang ditambahkan Syi’ah Ja’fariyah setelah syahadah kepada Rasulullah saw. (Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah),berupa kalimat Asyhadu anna Aliyan waliyullah karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan Ahli Baitnya a.s. yang menjelaskan bahwa tidaklah disebutkan kalimat Muhammad Rasulullah atau tidaklah ditulis kalimat tersebut di atas pintu surga, kecuali diikuti dengan kalimat (‘Aliyan waliyullah), yaitu sebuah kalimat yang menjelaskan bahwa Syi’ah tidak mempercayai kenabian Ali bin Abi Thalib, apa lagi sampai mengatakan ketuhanannya. Karenanya, diperbolehkan untuk membaca kalimat itu setelah dua syahadat, dengan niat bahwa itu tidak termasuk bagian atau kewajiban dari azan. Inilah pendapat mayoritas ulama-ulama ahli fiqih Syi’ah Ja'fariyah.
Oleh sebab itu,kalimat tambahan yang dibaca ini bukan  bagian dari azan sebagaimana yang telah kami katakan, dengan demikian bukan termasuk dari yang tidak ada pada mulanya dalam syariat, tidak pula termasuk bid’ah.
24.  Mereka sujud di atas tanah , debu, kerikil, atau di atas batu dan apa saja yang termasuk bagian dari bumi atau tanah dan yang tumbuh di atasnya, seperti tikar yang bukan terbuat dari kain dan bukan pula yang dimakan, dan yang manis. Karena ada banyak riwayat di dalam sumber-sumber Syi’ah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan Rasul saw. adalah sujud di atas debu atau tanah, bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk mengikutinya.
Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas serban (ammamah), karena takut akan panas yang menyengat. Maka Nabi menarik ammamah dari dahinya dan berkata: “Ratakan dahimu dengan tanah wahai Bilal !”. Begitu juga, Nabi pernah mengatakan pada Shuhaib dan Rabah dalam sabdanya: “Ratakan wajahmu wahai Shuhaib dan ratakan pula wajahmu wahai Rabah !”.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Bukhari dan lainnya, Nabi saw. juga bersabda: “Bumi atau tanah ini telah dijadikan untukku sebagai tempat sujud yang suci”.
Oleh karena sujud dan meletakkan dahi di atas tanah, tatkala sujud  merupakan hal yang paling layak dihadapan Allah swt, karena hal itu menghantarkan kepada kekhusyukan dan sarana terdekat untuk merendahkan diri di depan Tuhan, juga dapat mengingatkan manusia akan asal wujudnya. Bukankah Allah swt. berfiman:
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى
Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan kembalikan kamu sekalian, serta darinya kami akan mengeluarkan (membangkitkan) kamu pada kali yang lain. (QS. Thaha [20]:55)
Sesungguhnya sujud adalah puncak ketundukan yang tidak bisa terealisir dengan sujud di atas sajadah, karpet atau batu-batuan permata yang berharga. Puncak ketundukan itu hanya terealisir dengan meletakkan anggota badan yang paling mulia yaitu dahi, di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah.[9]
Tentunya, debu tersebut harus suci. Orang-orang Syi’ah selalu membawa sepotong dari tanah yang sudah dipres dan sudah jelas kesuciaannya. Mungkin juga tanah ini diambil dari tanah yang penuh berkah, seperti tanah Karbala. Di sanalah Imam Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur sebagai syahid sehingga tanah itu penuh berkah. Sebagaimana sebagian sahabat Nabi menjadikan batu Mekkah sebagai tempat sujud dalam perjalanan-perjalanan mereka dan untuk mendapatkan berkahnya.
Meski demikian, Syi’ah Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya sebagai suatu keharusan. mereka hanya membolehkan Sujud diatas batu apa saja yang bersih dan suci seperti lantai masjid Nabawi yang mulia dan lantai Masjidil Haram.
Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) sewaktu shalat, karena Nabi saw. tidak pernah melakukan hal itu, juga karena tidak ada nas yang kuat dan jelas yang menganjurkan hal itu. Karenanya, penganut mazhab Maliki tidak melakukan sedekap tersebut.[10]
25.  Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata  (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj.  Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.[11]
26.  Syi’ah Ja’fariyah membolehkan nikah mut’ah berdasar-kan nash Al-Quran, sebagaimana dalam firman-Nya:

2 komentar:

  1. Enggannya org2 syiah mengakui selain Ali d keturunannya sbg khalifah, tmpaknya memiliki dasar yg jelas..
    namun selanjutnya, trlihat sangat politis. Apa krn didahuluinya Ali oleh 3 org khalifah adalah peristiwa politis? Bgitu jg dgn bnyaknya pmberontakan2 oleh org2 keturunan Ali..
    Hal lain adalah bernuansa mistis, spt kisah2 ttg ghaibnya Imam Mahdi. Walaupun bg Allah tdk ada yg tdk mungkin. Kisah ghaibnya Al Mahdi, mohon maaf, spt dipaksakn, agar jml khalifah Rasulullah tetap brjumlah 12 org.. memang lebih lebih jelas keturunan Rasulullahnya dibanding kisah Imam Mahdi yg blm lahir.. yg dipertanyakn adalah, bgmana Imam Mahdi ini bs luput dari penguasa saat itu? bgmana pula pula kemunculannya nanti? Bgmana umat bisa percaya dia adalah Al Mahdi? Bukan hanya person yg mengklaim dirinya sbg Al Mahdi? Spt selama ini banyak terjadi dlm sejarah?

    BalasHapus
  2. Enggannya org2 syiah mengakui selain Ali d keturunannya sbg khalifah, tmpaknya memiliki dasar yg jelas..
    namun selanjutnya, trlihat sangat politis. Apa krn didahuluinya Ali oleh 3 org khalifah adalah peristiwa politis? Bgitu jg dgn bnyaknya pmberontakan2 oleh org2 keturunan Ali..
    Hal lain adalah bernuansa mistis, spt kisah2 ttg ghaibnya Imam Mahdi. Walaupun bg Allah tdk ada yg tdk mungkin. Kisah ghaibnya Al Mahdi, mohon maaf, spt dipaksakn, agar jml khalifah Rasulullah tetap brjumlah 12 org.. memang lebih lebih jelas keturunan Rasulullahnya dibanding kisah Imam Mahdi yg blm lahir.. yg dipertanyakn adalah, bgmana Imam Mahdi ini bs luput dari penguasa saat itu? bgmana pula pula kemunculannya nanti? Bgmana umat bisa percaya dia adalah Al Mahdi? Bukan hanya person yg mengklaim dirinya sbg Al Mahdi? Spt selama ini banyak terjadi dlm sejarah?

    BalasHapus