Minggu, 27 Mei 2012

tauhid


tauhid
Dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, harus menjauhi empat jenis bid’ah dan pelanggaran, yaitu: At-tahrif, at-ta’thil, at-tamtsil, dan at-takyif.
Penjelasan kaidah yang keempat.
Berikut keterangan mengenai empat perkara yang wajib dijauhi dalam masalah ini:
1. At-Tahrif
            At-Tahrif secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahirnya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya.
At-Tahrif ada dua jenis:
a. Yang dilakukan pada teks lafazh.
Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
1. Mengubah harakatnya. Misalnya apa yang dilakukan oleh Jahmiah terhadap firman Allah Ta’ala:

وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْم“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka merubah harakat ‘ha’ pada kata ‘Allah’ dari dhammah menjadi fathah untuk merubah posisi kata ‘Musa’ dari objek (maf’ul) menjadi pelaku (fa’il). Sehingga makna ayatnya: Dan Musa berbicara kepada Allah. Ini mereka lakukan untuk mengingkari bahwa Allah mempunyai sifat berbicara.
2. Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa. Ini dilakukan oleh Jahmiah karena mereka mengingkari sifat ketinggian Allah.
3. Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah: وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi: وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
b. At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya. Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya..
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan tahrif tidak menamakannya dengan tahrif, tetapi menyebutnya sebagai ta`wil yang artinya penafsiran. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah Ta’ala menisbatkan perbuatan tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah tahrif dengan istilah ta`wil agar bisa diterima oleh banyak kalangan dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
Hukum tahrif/ta’wil:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -di awal syarh Lum’ah Al-I’tiqad- menyebutkan adanya rincian dalam hukumnya, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Jika tahrifnya lahir dari niat yang bagus dan ijtihad dalam menemukan kebenaran -sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama sunnah, diantaranya adalah Al-Hafizh Ibnu Hajar, An-Nawawi, Al-Baihaqi dan selainnya-, maka tahrif seperti ini dimaafkan dan tidak menjadikan pelakunya keluar dari ahlussunnah. Akan tetapi jika tahrifnya lahir dari niat yang jelek maka: Jika tahrifnya tidak mempunyai dukungan dari sisi bahasa Arab, maka pelakunya dihukumi kafir, karena itu sama saja dengan mengingkari lafazh dalam Al-Qur`an.
Tapi jika tahrifnya mempunyai dukungan dari sisi bahasa maka: Kalau tahrifnya itu merendahkan Allah atau menyifati Allah dengan sifat kurang maka pelakunya dihukumi kafir. Tapi kalau tahrifnya tidak seperti itu maka tidak dihukumi kafir, tapi dihukumi sebagai pelaku bid’ah.

2. At-Ta’thil
            At-Ta’thil secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1. Ta’thil yang bersifat kulli (menyeluruh), yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala secara menyeluruh. Sebagaimana yang dilakukan oleh sekte Jahmiah dan yang sependapat dengan mereka, dimana mereka menolak semua nama dan sifat Allah kecuali satu sifat, yaitu sifat wujud (ada).
2. Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah Ta’ala dan menetapkan nama-nama-Nya. Demikian pula kelompok Al-Asya’irah yang hanya menetapkan 20 sifat, dan mirip dengannya Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah.
Hukum ta’thil: Ta’thil yang sifatnya kulli hukumnya adalah kekafiran karena merendahkan Allah karena menganggap bahwa Allah tidak punya nama-nama dan sifat-sifat.

3. At-Tamtsil
            At-Tamtsil secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. Tamtsil juga terbagi menjadi dua jenis:
1. Menyerupakan makhluk dengan Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Yang Maha Pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Allah Ta’ala, juga seperti keyakina sufi ekstrim bahwa para wali juga berperan dalam mengatur alam semesta.
2. Menyerupakan Zat Yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Zat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala adalah kedua tangan Allah terbelenggu, dan seperti ucapan sekte al-musyabbihah bahwa tangan Allah sama seperti tangan makhluk. Wal’iyadzu billah.
Hukum tamtsil: Tamtsil mengkafirkan pelakunya karena menyandarkan sifat kurang kepada Allah, yaitu bahwa sifat-Nya seperti sifat makhluk yang penuh dengan kekurangan.

4. At-Takyif
            Takyif secara bahasa bermakna membagaimanakan atau bertanya dengan kata kaifa (bagaimana). Adapun secara istilah, maka takyif ada dua bentuk:
1. Mengkhayalkan sifat-sifat Allah Ta’ala dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran. Misalnya seseorang mengkhayalkan kaifiat kaki Allah dengan mengkhayalkan kaki yang sangat besar lagi hebat yang ada dalam pikirannya.
2. Menanyakan kaifiat hakikat sifat Allah Ta’ala walaupun tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Seperti pertanyaan seorang ahli bid’ah kepada Imam Malik tentang bagaimana caranya Allah istiwa` di atas arsy.
Perbedaan antara takyif dan tamtsi adalah: Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran (kenyataan), sedangkan tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun persamaan keduanya adalah bahwa keduanya merupakan perbuatan menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk, karena khayalan manusia juga adalah makhluk ciptaan Allah.
Hukum takyif: Sama halnya dengan tamtsil, takyif juga adalah kekafiran karena keduanya adalah perbuatan menyamakan Allah dengan makhluk.

Faidah:
                Para ulama menyatakan bahwa tamtsil dan takyif tidak bisa dilakukan -secara akal- kecuali jika ada salah satu dari tiga perkara berikut:
1. Pernah melihat objek yang akan ditamtsil atau ditakyif.
2. Tidak pernah melihatnya akan tetapi pernah melihat yang mirip dengan objek tersebut.
3. Tidak memiliki kedua hal di atas, akan tetapi dia telah mendapatkan kabar dari orang yang terpercaya akan gambaran objek tersebut.
Misalnya: Jika ada seseorang yang meminta anda untuk menggambarkan (tamtsil) atau mengkhayalkan (takyif) bentuk tubuh dan wajah Zaid -misalnya-. Maka anda pasti tidak akan bisa melakukannya kecuali kalau anda pernah melihat Zaid, atau pernah melihat saudaranya yang mirip dengannya, atau paling tidak pernah mendapatkan pengabaran dari orang yang terpercaya -misalnya orang tua Zaid- tentang postur Zaid.
Demikian pula halnya dengan sifat Allah. Apakah ada makhluk yang pernah melihat Allah? Ataukah pernah melihat sesuatu yang serupa dengan Allah? Dan apakah ada pengabaran tentang kaifiat sifat Allah dari orang yang terpercaya tentang Allah -yaitu Rasulullah-? Jawabannya tentu tidak ada. Kalau begitu secara akal -terlebih lagi secara syar’i-, tamtsil dan takyif adalah kebatilan dan mustahil bisa dilakukan.
Demikian penjelasan ringkas mengenai kaidah-kaidah ahlussunnah dalam tauhid al-asma` wa ash-shifat, semoga bermanfaat. Walhamdulillahi Rabbil alamin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar